Rabu, 03 Maret 2010

In Memoriam

“Teet..teet..teeeeeetttttttt…”
Bel masuk berbunyi. Aku mempercepat langkahku tuk segera masuk ke kelas. Hari ini, untuk kesekian kalinya aku datang terlambat. Dan bodohnya, aku selalu terlambat di jam pelajaran Pak Rudi, guru fisika yang bawelnya minta ampun. Heran banget kok nggak bosen-bosennya nasehati aku mulu. Alhasil, aku selalu duduk dibangku paling depan sebangku dengan dia, Rhega, the freezeman in this class. Sayang banget eah, tampang cakep tapi beku beuhh..
“Zizhy Aprillia‼ Sudah berapa kali bapak ingatkan jangan terlambat lagi. Ini kali terakhir kamu terlambat, kalau kamu terlambat di jam pelajaran bapak lagi, silahkan meninggalkan kelas ini! Mengerti‼” Ancam Pak Rudi.
“Hehe.. Iya, Pak. Maaf, permisi Pak,” kataku sambil tersenyum. Hufft,, sialan. Kenapa telat selalu waktunya Pak Rudi sih. Jadi kena omel terus deh, ucapku dalam hati.
Aku berjalan ke bangkuku sambil terus-terusan menggerutu dalam hati. Sial! Sial! Siiiaaalllll‼ Kesialanku ini akan bertambah ketika aku menyapa Rhega.. yakin deh.
“Hai, Rhe,” Sapaku sambil tersenyum.
Daaaannn.........eng.ing.eng, diam seribu bahasa. Hanya melirik sekilas lalu kembali menatap lurus ke papan tulis. Duhh..nyesel deh udah nyapa dia, ucapku dalam hati. Akupun mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung. Terkadang, aku melihatnya dalam-dalam. Lucu juga ekspresi wajahnya ketika sedang serius mendengarkan penjelasan dari guru ataupun ketika dia sedang menguap pertanda dirinya mulai mengantuk ataupun bosan dengan mata pelajaran yang sedang berlangsung.
”Zhy, bangun. Bu Ema dateng tuh,” bisik Rhega sambil menyenggol tanganku.
Sekejap aku langsung terbangun. Bukan karena kedatangan Bu Ema, tapi karena Rhega tadi membangunkan aku! Seorang Rhega?! Ya ampun.. mimpi apa aku tadi yah..
”Eh, iah. Thanks dibangunin. Nggak salah minum obat, Rhe?”
Rhega hanya tersenyum dan seperti biasa, menatap kembali papan tulis. Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum juga. Akhirnya, Rhega bisa membuka dirinya sedikit, pikirku.
Hari ini, aku terlambat lagi. Sepertinya bakat terlambatku sudah menempel ditubuhku lekat-lekat dan nggak mau pergi. Dan tiap hari juga aku duduk sebangku sama Rhega semenjak bakatku ini tambah menjadi-jadi. Ternyata Rhega nggak separah yang dikatakan teman-teman. Dirinya yang semula tertutup es tebal, kini mulai mencair. Rhega mulai bisa membuka dirinya, setidaknya untukku, meskipun begitu dia masih tertutup sama teman-teman yang lain.
”Rhe, kamu bisa berubah juga ya, aku pikir kamu bakal selamanya menyandang predikat The Freezeman in this class. Ternyata bisa akrab juga sama aku.. kok bisa ya?”
”Aku ngerasa kamu mirip ma adekku. Teledor.. telatan parah.. hahaha,” kata Rhega sambil tertawa.
”Hmm.. aku nggak pernah tau adekmu. Dia sekolah dimana?”
”Dia udah nggak ada,” jawab Rhega datar.
”Hah??? Maksud kamu nggak ada..meninggal??”
”Yah gitulah. Nggak usah bahas dia ya,”
Kami berdua terdiam. Aku masih memikirkan kata-kata Rhega . Adiknya meninggal? Karena apa? Apa karena itu aku bisa akrab dengannya? Karna aku menggantikan posisi adiknya? Berbagai pertanyaan berkelebat dibenakku.
Sejenak aku bisa melupakan semua itu. Kita berdua kembali ke kehidupan semula. Selalu bercanda berdua, kemana-mana selalu bersama. Dimana ada Rhega, disitu pasti ada sosokku. Teman-teman beranggapan bahwa kita jadian. Ku akui memang perilaku Regha sama aku berbeda dengan cewek-cewek lainnya. Lebih perhatian. Tapi Regha dan aku tetap bersikap biasa. Only brother and sister.. itulah kita.
2 bulan telah berlalu. Aku dan Rhega benar-benar seperti saudara. Orang tua Rhega juga demikian. Aku sering main ke rumahnya Rhega ketika ada waktu luang. Sampai akhirnya suatu ketika Rhega menceritakan sosok kembaranku, adiknya. Cantik, anggun, dan ceria membalut sosok gadis itu yang kini hanya tersenyum dibalik pigura kaca yang membingkainya dengan indah. Itulah Rheva, adik perempuan Rhega. Usia Rhega dan Rheva hanya berselang 1 tahun. Rhega menceritakan betapa dekatnya dia dengan Rheva. Rhega sangat menyayangi Rheva, hingga kematian Rheva yang datang begitu cepat membuat Rhega depresi berat dan berubah menjadi pendiam.
Siang itu, Rheva minta dijemput di sekolahnya, tapi Rhega nggak bisa menjemputnya karena dia mau latihan band. Rheva tetap memaksa Rhega untuk menjemputnya dan mengancam Rhega kalau Rheva nggak akan pulang ke rumah lagi jika Rhega tidak menjemputnya. Rhega tetap pada pendiriannya. Malam harinya, sepulang latihan, Rhega dikejutkan dengan terpasangnya tanda berduka cita di pintu pagar rumahnya. Rhega lebih terkejut lagi ketika masuk ke rumah, dia mendapati Rheva terbujur kaku di peti mati. Rheva meninggal tertabrak mobil ketika ia menyebrang dari pintu gerbang sekolahnya. Rhega menyesal, kenapa tadi dia menolak permintaan Rheva? Kenapa dia lebih mementingkan bandnya? Dan kenapa dia nggak tanggap dengan ancaman Rheva, ”Rheva nggak akan pulang ke rumah lagi..” Selama ini Rhega selalu menyesalinya dan menganggap bahwa kematian Rheva karena dirinya meskipun orang tua Rhega telah mengikhlaskan kepergian Rheva dan memang ini sudah menjadi takdir Rheva, Rhega tetap tidak peduli.
Sampai akhirnya Rhega bertemu denganku. Wajahku memang beda, tapi sifatku yang mirip dengan Rheva membuat Rhega jadi termotivasi untuk bangkit lagi. Rhega merasa mendapatkan kesempatan kedua lagi. Karena itulah, dia membuka sedikit-demi sedikit dirinya yang tertutup itu hingga kini sudah tiada batasan buat Rhega dan aku.
”Rheva tuh manja, telatan, bandelnya minta ampun, sama seperti kamu, Zhy,” ucap Rhega sambil menatapku.
” Tapi secara fisik beda banget. Aku nggak cantik, Rheva cantik. Banget malah,”
”Memang beda. Kamu nggak cantik, tapi manis Zhy,” kata Rhega sambil mencubit pipiku.
”Iya-iya,” jawabku dengan tersenyum.
”Tuhkan manis, lesung pipitnya langsung nongol deh. Hehehe,”
”Oh iya, liburan ini ada rencana kemana?” tanyaku.
”Mungkin ke Bandung, Kalau Zizhy sendiri? Pasti ke Malang, iya kan?”
”Iya. Kemana lagi. Nanti jangan lupa oleh-olehnya buat Zizhy ea Rhe,”
”Siip, pastinya,” kata Rhega sambil mengedipkan sebelah matanya. Ya Tuhan, betapa sempurnanya makhluk yang Kau ciptakan di hadapanku ini. Kadang aku lupa betapa tampannya Rhega. Pantas saja beberapa cewek di sekolah benci banget ngelihat aku dan Rhega dekat.
Liburan sekolah tiba. Aku bersama keluargaku pergi ke Malang, sedangkan Rhega dan keluarganya ke Bandung. Liburan ini ku habiskan dengan bersenang-senang sepuasnya. Refreshing ditengah-tengah kejenuhan menghadapi pelajaran di sekolah yang tiada habisnya. Dan selama liburan itu, aku kehilangan kontak dengan Rhega. Mungkin dia juga sedang bersenang-senang disana bersama keluarga besarnya.
Hari ini hari masuk sekolah usai liburan 2 minggu berlalu. Tapi, Rhega belum juga datang. Tidak seperti biasanya, Rhega terlambat lebih dari aku. Hingga bel masuk pun berbunyi, sosoknya belum terlihat. Mungkin dia masih di Bandung, batinku.
Hingga 1 Minggu berlalu. Rhega juga belum masuk sekolah. Aku sudah berusaha untuk menghubunginya tapi selalu pending, bahkan akhir-akhir ini nomer handphonenya tidak aktif begitu juga dengan nomer handphone Tante Wulan, mama Rhega, juga tidak diangkat. Aku mendatangi rumahnya, tapi selalu kosong. Ada apa ini sebenarnya??
Akhirnya hari Sabtu, aku mendapat telepon dari Tante Wulan. Sempat bingung ketika aku berbicara dengan Tante Wulan yang tiba-tiba menangis dan mengabarkan bahwa Rhega sedang dirawat dirumah sakit. Shock sejenak... Rhega kenapa? Sakit apa? Kenapa nggak ngabari aku selama hampir sebulan?
Begitu dapat ijin dari sekolah untuk keluar, aku langsung meninggalkan kelas dan menuju ke RS Dr. Soetomo, tempat dimana Rhega dirawat. Aku benar-benar shock dengan semua ini begitu melihat muka Rhega yang pucat pasi terbaring di tempat tidur. Tanpa kusadari, air mata menetes dipipiku. Aku hanya terdiam, menyentuh tangan Rhega yang dingin. Rhega terbangun, dia hanya tersenyum melihatku.
”Zhy...”
”Kenapa Rhe?”
”Maaf iya, aku seperti ini,”
”Kenapa nggak kasih kabar ke aku, Rhe?”
”Aku nggak mau kamu repot,”
”Aku nggak akan repot Rhe,” kataku sambil terisak.
”Duh, Zizhy kok nangis sih, Rhe nggak mau lihat Zizhy nangis. Nanti manisnya hilang loh,” kata Rhe sambil mengusap airmataku.
” ........”
”Boleh nggak Rhe minta 1 permintaan,”
”Apa?”
”Rhe pengen meluk Zizhy,”
”Ia,”
”Zhy, kalau Rhega nanti nggak ada, Zizhy harus bisa jaga diri ya, jangan telatan mulu,”bisik Rhega sambil memelukku erat.
”Rhe kok ngomongnya gitu?”
”Karena Rhe ngerasa udah deket. Rhe juga pengen ketemu sama Rheva. Rhe kangen Rheva. Janji ea Zhy,”
”Zizhy janji,”
”Makasih....”
”Udah ea, Zhy pamit pulang. Balik ke sekolah lagi. Mana jamnya Pak Rudi, nanti Zizhy kena omel lagi sama Pak Rudi, Bye Rhe,” kataku sambil melepaskan diri dari pelukkan Rhega.
”Bye Zhy,”
Keluar dari kamar Rhega, aku sempat menyanyakan ke Tante Wulan tentang sakit Rhega. Kenyataan yang begitu menyakitkan. Ternyata Rhega sakit leukimia dan sudah stadium akhir. Tante Wulan juga shock mengetahui hasil uji lab dari rumah sakit yang menyatakan Rhega sakit leukimia. Sudah 3 minggu Rhega dirawat di rumah sakit. Dia nggak mau ngasih kabar ke siapapun, bahkan ke sekolah. Tante Wulan memberikan sesuatu untukku. Sebuah kalung pemberian Rhega sebagai oleh-olehnya dari Bandung waktu liburan kemarin, sebelum kesehatan Rhega drop seperti sekarang. Aku langsung memakainya dan mengucapkan terimakasih kepada Tante Wulan sekaligus pamit kembali ke sekolah.
Aku kembali ke sekolah dengan pikiran nggak tenang. Pelajaran fisika yang diterangkan Pak Rudi pun nggak nyantol satupun. Waktu Shalat Dhuhur tiba. Aku segera menuju ke masjid dan melakukan shalat berjamaah dengan siswa-siswi lainnya. Selesai shalat mendengarkan kultum yang dibawakan dari anak kelas X.
”Demikian kultum yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat, wa bilahi taufiq wal hidayah, wassalamualaikum wr.wb,” ucap anak tersebut sebagai tanda bahwa kultumnya telah selesai.
”Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar. Hari ini, kita turut berduka cita atas berpulangnya Ananda Rhega Septian Putra ke Rahmatullah. Semoga diberikan tempat disisi-Nya dan bagi yang ditinggalkan bisa lebih tabah, mari tundukkan kepala sejenak. Kita berdoa bersama. Berdoa, mulai...”
Sejenak hatiku tersentak mendengarnya. ’Rhe uda gag ada..’ Tanpa kusadari airmata meleleh begitu saja. Aku hanya terdiam, berdoa dengan air mata mengalir deras dipipiku. Baru saja aku bertemu dengannya, berbicara dengannya, memeluk dirinya, namun kini dia sudah pergi jauh dan nggak akan pernah kembali. Selamat jalan Rhega, semoga dirimu diterima disisi-Nya dan mendapatkan tempat yang layak disana.
Bagiku, hanya 5 bulan aku mengenal Rhega. Namun, untuk melupakannya takkan pernah bisa. Dia seperti kakakku sendiri. Dirinya, memang sudah tiada, namun kenangan tentangnya takkan terlupakan bagiku. Terimakasih Rhega, karena dirimu sudah mengisi kehidupanku meskipun hanya sejenak. Terimakasih karena sudah mengijinkan aku mengenalmu lebih jauh. Terimakasih...

In Memoriam
R.B.S
(1 Juni 1991 – 28 Februari 2008)
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo