Selasa, 25 Mei 2010

happily ever after


Sebuah gubuk kecil di halaman belakang rumah kosong. Seorang perempuan berdiri didekatnya, Rara. Dia memandang gubuk kecil itu cukup lama. Rara terdiam dan tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke gubuk…
Gubuk ini tempatnya berkumpul bersama dua orang sahabatnya, Bayu dan Devon. Rara yang menghias tamannya, Bayu dan Devon yang mendirikan gubuknya. Dari SD mereka slalu bersama. Setiap pulang sekolah, Devon dan Bayu pasti mengajak Rara ke gubuk ini. Meskipun berada di halaman belakang rumah kosong, halamannya cukup luas. Tepat disamping gubuk ada sungai yang mengalir meskipun tak terlalu dalam dan besar alirannya, tapi bagi anak-anak SD itu bisa membahayakan. Rara pernah hampir tenggelam disungai itu jika saja Bayu tidak cepat menolong Rara. Kadang Devon dan Bayu memancing disungai itu dan Rara yang membakar ikan hasil pancingan mereka.
Memasuki jenjang SMP, Devon terpisah dari Rara dan Bayu karena Mereka beda sekolah. Meskipun demikian, mereka terkadang berkumpul di gubuk setiap ada hari libur. Melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan sejak dulu. Entah memancing atau sekedar membersihkan taman kecil yang dibuat Rara atau sekedar membetulkan genteng gubuk yang bocor.
Memasuki jenjang SMA dan kini giliran Bayu yang tepisah dari Rara dan Devon. Rara tumbuh menjadi remaja yang cantik, pintar, dan supel. Devon dan Bayu juga demikian.. menjadi remaja yang tampan, pintar, badan mereka lebih tinggi dari Rara dan suara mereka lebih berat. Namun yang berbeda dari Devon dan Bayu.. Devon lebih cuek dan diam dibanding Bayu yang supel dan slalu aktif dalam organisasi sekolah. Sudah lama Rara tidak mengunjungi gubuk ini. Semenjak peristiwa itu terjadi…
Pagi itu Devon menjemput Rara pulang dari sekolah karna Rara ada kegiatan sekolah yang mengharuskan siswa-siswinya menginap. Devon yang terlebih dahulu menginap karna murid laki-laki yang menginap terlebih dahulu. Tampak dari wajah Devon yang muram. Rara hafal dengan raut wajah Devon jika dia ada masalah, selalu seperti ini.
“Kamu kenapa Dev?” tanya Rara.
“Ra, mending kamu masuk ke mobil dulu aja. Ntar ku critain,” jawab Devon datar.
Rara masuk mobil dan Devon yang menyetir. Gag seperti biasanya Devon nyetir seserius ini. Rara penasaran dengan cerita Devon.
“Dev, tadi katanya mau cerita? Cerita apa?”
“Ra…”
“Ia?”
“Ra..” kata Devon sambil menghela nafas.
“Apaan si? Kamu kok jadi aneh gini Dev? Devonnnn…. Kamu kenapa???”
“Ra, kamu yang sabar ea..”
“Kenapa sih?”
“Bayu meninggal Ra,” ucap Devon sambil menghentikan laju mobilnya.
“……” Rara terdiam… sejenak kemudian Rara tertawa.
“Haha… bohong ih Devon. Kemaren kita kan barusan foto-foto digubuk jangan bercanda deh dev!”
“Ra, aku serius!”
“Gag percaya. Devon kan suka bohongin aku. Aku sudah hafal ama kamu, dev” jawab Rara cuek.
“RA! LIHAT AKU! AKU SERIUS RA! BAYU MENINGGAL SEMALEM!” bentak Devon sambil memegang bahu Rara.
“Kenapa?” tanya Rara dengan pandangan kosong
“Bayu kecelakaan sewaktu pulang dari Malang kemaren sekitar jam tiga malam. Dia nyetir dalam kondisi ngantuk. Mobilnya nabrak truk tronton.”
“Devon bohongkan? Bukan Bayu kan itu? Bukan Bayu Dirgantara kan?” kata Rara dengan mata berkaca-kaca.
“Itu Bayu Ra. Bayu Dirgantara. Sahabat kita,”
“Gag! Devon bohong! Itu bukan Bayu! Bukan Bayu!Devon bohong!!! Huhu…” Rara menangis sesenggukan.
Devon langsung memeluk tubuh gadis mungil itu. Berusaha menenangkan sahabatnya dan akhirnya Rara nggak sadarkan diri dipelukan Devon. Rara nggak percaya, sahabat kecilnya itu telah tiada. Sahabat yang slalu melindunginya, slalu bersamanya. Sahabat yang telah menyelamatkan nyawanya dulu kini tlah berpulang ke Rahmatullah.
Devon menggendong Rara ke kamarnya. Hampir 2 jam Rara tidak sadarkan diri. Bunda Rara sampai khawatir dengan keadaan putrinya. Setelah siuman pun Rara masih gag percaya Bayu meninggal.
“Bunda… Bayu??” ucap Rara sambil menggelengkan kepalanya.
“Ia Ra.. Rara yang sabar ya,”
“Sabar Ra. Bukan kamu aja yang kehilangan. Aku juga Ra,” kata Devon.
Esok harinya Rara ditemani Devon ke pemakaman Bayu. Tanahnya masih merah dan bunga-bunga yang bertaburan diatasnya belum mengering. Rara hanya terdiam. Membayangkan apa yang dihadapi bayu di alam Barzah sana. Sedang apa bayu disana? Apakah dia disiksa? Seperti apa rasanya mati? Sakitkah ketika nyawa kita dicabut dari raga ini? Dan berbagai pertanyaan berkelebat dipikiran Rara.
2 tahun berlalu. Rara dan Devon masih selalu berhubungan meskipun semenjak kejadian itu, mereka jarang berkunjung ke gubuk lagi. Hari ini seminggu sebelum UNAS dilakukan. Mereka berencana untuk berkunjung ke gubuk. Membersihkan gubuk kecil mereka yang tlah lama mereka tinggalkan.
Gubuk itu… masih tetap sama. Hasil karya Bayu dan Devon 9 tahun yang lalu. Hanya lebih tak terawat dibanding dulu. Alang-alang liar tumbuh disana-sini. Taman yang dibuat Rara juga sudah tidak tampak lagi. Lumut-lumut tumbuh di kayu penyangga genteng gubuk. Devon dan Rara membersihkan gubuk dan menata ulang taman yang hilang. Tanpa kehadiran Bayu…
Hari ini UNAS diadakan. Hingga 5 hari mendatang UNAS akan selesai. Menanti pengumuman UNAS selama 1 bulan rasanya lama sekali. Dan selama itu, mereka sudah libur karena semua ujian-ujian sekolah sudah selesai.
Malam itu, Rara berniat ke rumah Devon. Baru saja sampai didepan rumah, tiba-tiba Devon keluar rumah sambil marah-marah. Mengetahui kedatangan Rara, Devon terdiam. Kemudian menarik tangan Rara ke mobil. Rara hanya terdiam masuk ke mobil. Devon langsung tancap gas keluar dari rumah.
Sepanjang perjalanan, Devon dan Rara terdiam. Sampai akhirnya Devon menghentikan mobilnya di depan sebuah lapangan basket. Devon langsung turun dan mengambil bola basketnya di bagasi. Rara turun juga menyusul Devon yang sudah berlarian ke lapangan basket.
Devon mendribble bolanya dan melemparnya ke ring, tapi gagal-gagal terus. Berulang kali sampai akhirnya bola itu masuk ke ring. Dan seketika itu pula Devon terduduk lemas.
“GUE BENCI LOE! BANGSAT!” teriak Devon yang kontan membuat Rara terkejut.
“Devon ?”
“Aku benci dia Ra! Benci!” ucap Devon.
“ Siapa?”
“Ayah tiriku Ra,”
Baru kali ini Rara melihat Devon semarah ini. Rara menyentuh wajah Devon. Dan betapa terkejutnya Rara melihat sudut bibir Devon berdarah. Rara memeluk Devon, tapi Devon justru merintih kesakitan. Rara memaksa Devon untuk membuka kaosnya. Dan dibalik tubuh yang tegap dan kulit yang putih itu, beberapa luka goresan terlihat dipunggung Devon. Rara mengambil tisu ditasnya dan membasahinya dengan air keran di dekat lapangan. Bermaksud untuk membersihkan luka-luka Devon, tapi Devon menolak.
“Cukup Ra. Gag usah. Makasih,” ucap Devon sambil memeluk Rara.
“Tapi aku mau ngobatin luka kamu Dev,”
“Gag perlu diobati. Obatnya kamu Ra,”
“Hah?” ucap Rara bingung.
“Bayu dan kamu, itu obatku selama ini Ra,”
“Jadi bayu udah tau semua ini?”
“Ia, dari dulu. Tapi, aku nyuruh dia ngerahasiain dari kamu,”
“Kenapa gitu?”
“Aku gag mau buat kamu khawatir Ra,”
“Terus setelah Bayu gag ada?”
“Aku kehilangan 1 obatku Ra, gag tau aku bisa bertahan atau gag. Tapi selama masih ada kamu, aku akan coba untuk bertahan,”
Rara membalas pelukkan Devon. Membiarkan malam ini menghapuskan semua dukanya. Semilir angin berhembus menyejukkan hati namun menusuk tulang. Devon mengantarkan Rara pulang ke rumah karna hari sudah malam.
Semenjak itu Devon dan Rara jarang bertemu karena kesibukan masing-masing. Terdengar kabar bahwa Devon berubah. Menjadi anak yang urakan dan Rara dengar dari beberapa teman, Devon sering terlihat di persimpangan lampu merah dengan temen barunya yang penampilannya bak preman. Beberapa hari sebelum pengumuman kelulusan Devon menemui Rara. Ada yang berbeda dari penampilan Devon, lebih kurusan. Devon menemui Rara untuk berpamitan pada Rara karna dia mau pindah ke Bandung dan meneruskan kuliah disana. Rara tersenyum. Dia mendukung segala yang dilakukan Devon selama itu baik untuk dirinya.
Hari pengumuman UNAS pun tiba. Siswa-siswi SMA Barata 2 berkumpul dilapangan upacara menunggu surat pengumuman hasil kelulusan yang akan dibagikan oleh wali kelas masing-masing. Ada yang bersorak kegirangan setelah membaca surat tersebut, ada yang menangis karena terharu, dan berbagai ekspresi yang muncul dari wajah para siswa setelah membaca isi surat itu.
Rara pun bersorak kegirangan setelah dia mengetahui dirinya lulus dengan nilai rata-rata 48,25. Rara berlarian ke sekeliling lapangan mencari Devon. Dan akhirnya dia menemukan Devon sedang bersandar di bawah pohon. Rara menghampiri Devon dengan semangat menggebu-gebu. Ingin membagi kebahagiaan yang sedang dirasanya pada sahabatnya itu.
“DEEVVVOOONN!!!!!RARA LULUSSS!!!!! Devon gimana? Luluskan?”
Devon hanya terdiam. Kemudian dia meremas surat yang dibawanya dan berdiri kemudian memberikan remasan surat itu kepada Rara dan pergi begitu saja.
Rara merapikan surat itu dan membacanya. Rara terkejut bahwa dalam surat itu Devon dinyatakan tidak lulus. Nilai fisikanya kurang dari standar kelulusan. Rara terdiam. Dia tidak menyangka bahwa siswa yang tidak lulus dari sekolahnya itu sahabatnya sendiri. Rara nggak membayangkan cita-cita Devon untuk pindah ke Bandung harus ditunda dulu karna harus mengikuti ujian ulang.
Malamnya Rara ke rumah Devon untuk sekedar menghibur sahabatnya itu. Namun setiba di rumah yang ada hanya ayah tirinya yang tiba-tiba marah sewaktu Rara menanyakan perihal Devon.
“UNTUK APA KAMU TANYAKAN ANAK GAG BERGUNA ITU! CARI SAJA DIJALAN SANA!” bentak ayah tiri Devon sambil membanting pintu.
Rara langsung pergi dari rumah Devon dan mencari Devon di persimpangan lampu merah dari info yang dia dapat dari beberapa temannya. Begitu sampai di persimpangan, Rara jadi takut sendiri melihat cowok-cowok yang dandanannya ala emo. Rara tetap memberanikan diri untuk bertanya kepada beberapa cowok disitu. Tapi gag ada yang tahu Devon dimana. Sampai akhirnya salah seorang cowok tahu Devon dimana.
Rara memacu sepeda motornya ke tempat itu. Tak lama kemudian, Rara sampai di depan sebuah rumah kosong dengan penerangan yang seadanya. Rara tidak peduli dengan gelapnya halaman belakang rumah kosong itu. Rara mengeluarkan handphonenya dan mengarahkan cahaya dari layar handphone untuk menerangi sekelilingnya.
Tidak ada siapapun di halaman belakang. Rara masuk perlahan ke dalam gubuk dan dia menemukan Devon tertidur. Rara berusaha membangunkan Devon, tapi Devon tetap saja tak membuka matanya. Suhu badan Devon lama-lama mulai dingin. Dan akhirnya Rara menyadari bahwa sedari tadi darah segar mengalir dari pergelangan tangan Devon. Rara panik. Berusaha mencari bantuan dan akhirnya 15 menit kemudian bantuan datang dari orang-orang kampung sekitar situ.
Rara segera membawa Devon ke rumah sakit terdekat. Namun sayang, nyawa Devon tidak tertolong. Devon terlalu banyak mengeluarkan darah.
Rara masuk ke kamar jenazah. Menghampiri Devon yang terdiam dalam tidur panjangnya. Rara menangisi kebodohannya yang tak menyadari kalau Devon berniat bunuh diri.. kalau devon melukai pergelangan tangannya.. dan semua menjadi gelap… Rara pingsan..
“Ra, bangun Ra.. ”
Rara terbangun dan terkejut melihat Devon dan Bayu di hadapannya. Devon dan Bayu tersenyum melihat Rara kebingungan.
“Ra, aku kangen kamu, Ra,” kata Bayu.
“Bayu! Devon! Jangan tinggalin aku,” ucap Rara seraya memeluk kedua sahabatnya itu.
“Kita gag ninggalin kamu, Ra. Kita akan selalu ada dihati kamu. Jaga diri kamu baik-baik ya, Ra. Kamu harus bahagia, Ra,” ucap Bayu sambil berlalu.
“Gag! Kalian ga boleh pergi!”
“Ra..”
“Gag!”
“Raa!!! Bangun!!!”
“GAK!!!” teriak Rara dan akhirnya Rara terbangun dari mimpi panjangnya. Melihat Satria, calon suaminya, yang sedari tadi membangunkan Rara dan akhirnya terbangun juga.
“Aku kangen mereka Beibh,” ucap Rara sambil memeluk calon suaminya itu.
“Iya, tahu sayang… tapi sekarang udah tuntas kan kangennya? Kita pulang yuk” ucap Satria sambil tersenyum melihat Rara.
Seminggu kemudian pernikahan Satria dan Rara berlangsung. Mereka berdua sudah merencanakan pernikahan sambil menunggu Rara lulus dari S1nya dan dan Satria menyelesaikan S2nya. Dan hari yang mereka tunggu-tunggu tersampaikan juga. Rara bahagia bisa menikah dengan orang yang dia cintai dan mencintai dia. Rara menatap Satria dan tersenyum melihat suaminya itu. Satria yang merasa dipandangi isterinya pun menoleh,
“Kenapa, Isteriku,” ucap Satria sambil tersenyum menatap Rara.
“Gak apa-apa, Suamiku,” jawab Rara sambil tersenyum dan menatap langit, berbisik..
“Aku bahagia, Devon…Bayu..”

Rabu, 05 Mei 2010

Roman Sarkastik

Hari-hariku saat bisa menemui dirimu merupakan kenangan indah
Namun, aku adalah burung phoenix yang sedang terbang untukyang terakhir kalinya dan sebentar lagi akan terbakar menjadi abiu tanpa sisa apapun juga...
Biarlah...biar....
Biarkan aku di dalam gelap dan bayangan
Tanpa matahariku ...
Kurengkuh kegelapan ini
Kegelapan yang memberikan kesunyian dan kedamaian mati bagiku...
Ini bukanlah De Profundis, matahariku
Suatu hari, semoga kau mengerti akan makna mencintai tanpa dicintai
Sebuah cinta eros yang tulus dn membuatmu menderita karenanya
Semoga kau rasakan kepedihannya saat cinta membunuhmu
Karena kau telah membunuhku dengan cintamu
Aku pun mati dibuatnya!!!
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo