Rabu, 25 Mei 2011

Telegram dari Surga


Sesuatu yang paling indah adalah masa kecilku yang nakal
Saat itu ibu dan bapakku sangat menyayangiku
Setiap malam sambil mengusap-usap rambutku,
Ibu membacakan dongeng si kancil
Agar aku lekas tidur
Agar aku tidak kesiangan tuk berangkat ke sekolah

Sesuatu yang paling tak terlupakan
Saat itu jarum jam dinding rumah sakit menunjukkan pukul 10 pagi
Aku baru saja minum anti retroviral dengan segelas air putih
Anehnya aku melihat kakek dan nenekku yang sudah meninggal lima tahun yang lalu berdiri di depan pintu kamarku
Mereka tersenyum dan melambai-lambaikan tangannya

Ada apa ini???
Mengapa ku lihat sendiri tubuhku terbujur kaku
Apa yang terjadi denganku??
Kulihat ibu dan saudara-saudaraku mengguyur tubuhku dengan air kembang
Dan membalut tubuhku dengan kain kafan
Namun aku tidak bisa berbuat apa-apa
Saat itu mulutku terkunci

Mengapa disekitarku
Banyak orang membacakan firman-firman Tuhan
Banyak orang menangis sambil mengguncang-guncang tubuhku yang diam

Ibu,
Saat menulis telegram ini,
Aku bingung harus nulis apa
Tubuhku yang pernah kau timang ini hanya bisa menderaskan air mata
Aku kangen bu
Aku rindu sama ibu, samabapak
Titip salam juga buat adik-adik
Maafkan kakak yang belum bisa menjadi kakak yang baik

Sampaikan salam buat para dokter yang selama ini merawatku
Yang begitu sayang dan perhatiannya kepadaku

Bu,
Sampaikan salam kepada sahabat-sahabat aktivis peduli ODHA
Terimakasih sejuta kasih
Bersama kalian aku bisa mengubah cara pandangku terhadap kehidupan
Life is beautiful
Hidup itu indah
Itu yang kalian katakan pertama kali
Ketika aku sudah ingin mengakhiri hidupku
Life is beautiful
Semoga kebaikan kalian mendapatkan senyuman Tuhan

Bunda
Disini, di Surga ini
Tuhan mengungkapkan segala rahasia-Nya
HIV dan AIDS adalah malaikat kecil yang dikirim Tuhan
Untuk mengikis habis dosa-dosaku

Dengan virus itu
Tuhan mengajariku tentang satu bab keikhlasan
Dan bab kedua itu adalah pilihan hidup dan pertanggungjawaban

Dengan virus itu
Tuhan mempertanyakan sejauh mana pengorbanan dan kesestiaanku pada-Nya
Ketika aku diuji coba untuk lowongan masuk surga

Dan itu semua membuktikan
bahwa Tuhan punya banyak cara untuk menyayangi hamba-Nya

Meski dunia kita berbeda
Hendaknya kita saling bertegur sapa
Dalam mimpi yang indah
Dan tidur yang terjaga
Mentari pagi menyanyikan lagu semangat untuk hidup
Dan terbenamnya menceritakan bahwa kematian datang dengan pasti
Melalui berbagai cara

Katakan pada mereka
Buat hidup kita lebih berarti di dunia ini

Dari anakmu
Di Surga



MRAN.210511 @ Magister Manajemen Universitas Airlangga

Rabu, 18 Mei 2011

Batu Pijakan

Untuk membuat mereka tertawa, aku bernyanyi dan menari. Untuk membuat mereka kenyang, aku meminta kepada alam. Untuk menghangatkan tubuh mereka, aku mencari sinar matahari. Untuk melelapkan tidur mereka, aku membawa sang rembulan. Dan untuk membalaskan dendam mereka, aku meminta maaf kepada Yang Kuasa dan Yang Agung sebelum akhirnya aku akan menjadi seekor binatang tanpa moral dan perasaan, yang akan mengoyak dan mencabik manusia-manusia yang buta dan tuli akan cinta kasih, keadilan, dan perdamaian. Aku adalah Batu Pijakan.

Malam semakin larut, tapi aku belum juga tidur. Sepenggal puisi karya temanku, teman yang bagiku rendah, baru saja selesai aku baca. Jadi inikah arti semuanya? Rasa bersalah masih terus menyelimutiku. Seharusnya aku tidak berada disini, dikamar mewah ini. Seharusnya saat ini aku meringkuk di penjara, di sel tahanan. Tiba-tiba aku bergidik ngeri. Rasa takut menyergapku. Bagaimana kalau dia datang dan dan membalas dendam. Kunaikkan selimut sampai menutupi wajahku dan kubenamkan kepalaku dibawah bantal empuk seraya berharap aku bisa segera tidur. Namun, kejadian itu kembali terekam ulang. Darah itu, jeritan itu, tangisan itu, dan tubuh itu terpelanting jauh, jauh sekali. Semua berawal ketika siang itu aku dan teman-temanku pulang dari sekolah. Seperti biasa kami selalu ribut membicarakan berbagai macam hal. Karena asyiknya, aku yang mengendarai mobil itu tidak begitu konsentrasi. Ya, aku ingat. Saat itu ada seorang cowok cakep sedang berjalan ditrotoar. Spontan aku dan teman-teman langsung menengok kesamping. Setelah itu,”Awas..,” Chika berteriak sambil menunjuk ke arah depan. Ya ampun. Seorang bocah kira-kira berumur 3 tahun sedang menyebrang. Terlambat sudah. Ditengah-tengah kepanikan itu aku tidak sempat mengerem. Tuhan maafkan aku. Aku berteriak sambil menutup mata. Dan ketika kubuka mataku, aku hampir saja bernafas lega karena melihat bocah kecil itu masih baik-baik saja. Tapi, orang-orang yang segera berkerumun di depan sana? Tanpa menunggu waktu, aku segera turun. Hampir saja aku pingsan. “Batu…,” aku bergumam.

Tak lama para polisi berdatangan dan segera membawaku ke kantor polisi. Aku terduduk lemas saat polisi mengatakan bahwa aku terpaksa harus tinggal di tahanan karena kesalahan utama memang berpihak padaku. Bocah kecil itu sama sekali tidak bersalah, apalagi Batu. Mereka menyebrang saat lampu lalu lintas bagi pejalan kaki berwarna hijau. Singkatnya aku menerabas lampu merah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus hidup di penjara. Untung saja mama dan papa bisa menyuap pihak kepolisian. Sebenarnya aku sendiri tak tahu, apa harus merasa bersyukur atau tidak. Yang pasti aku telah membuang kewajibanku, mengabaikan apa yang seharusnya aku tanggung. Walaupun kejadian itu sudah 1 tahun yang lalu, aku masih belum bisa melupakannya.

Menurut cerita teman-temanku, saat itu Batu langsung mendorong anak kecil itu dan membiarkan tubuhnya bertubrukan dengan mobilku. Sungguh! Dia seorang pemuda yang hebat, baik, peduli dengan orang lain, penuh cinta kasih dan semangat juang, dan juga yang kesepian ditengah hiruk-pikuknya kehidupan ini. Benar, masa-masa SMA-nya dulu, ketika murid-murid lain saling berkumpul dan bermain bersama, Batu hanya sendirian. Duduk dibawah pohon yang ada dipojok sekolah tanpa sedikit pun ekspresi di raut wajahnya. Tidak ada satupun anak yang mau berteman dengannya karena sikapnya yang dingin, pendiam, berpenampilan dekil dengan rambut acak-acakkan dan kemana-mana selalu membawa buku, tapi anehnya dia tidak pernah menyabet juara. Selain itu, tabiatnya benar-benar aneh. Mungkin bisa dibilang seperti orang gila. Bayangkan saja. Kadang tanpa sebab dia berteriak-teriak sendiri tanpa arah yang jelas. Seperti siang itu, dia berdiri di tengah lapangan sambil bersuara lantang dia berkata,”Lihatlah aku! Aku mengekspresikan diri sesuka hatiku. Tidak satu orang pun boleh menentang atau menghalangiku. Inilah aku dan inilah mauku. Jadi ikutilah adatku dan jangan pernah merasa takut karena sekarang ini kita terbebas dari rasa saling peduli. Lihat pemimpin kita, lihat wakil-wakil kita. Ayo lihat keatas! Mereka tidak selalu peduli pada kita. Maka, mari kita berbuat apapun tanpa perlu peduli terhadap sesama.”

Kalimat itu pernah diucapkannya. Perlahan kenangan itu muncul. Kenangan saat aku pernah mencaci dan menghinanya.
“Gimana sih, kalau jalan-jalan lihat-lihat dong. Mata dikasih pantat. Dasar nggak punya otak!” aku mengumpat.
Hanya masalah sepele, kami bertabrakan dan itu sebenarnya salahku. Tapi, aku membiarkannya memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan.

“Hei, patung hidup! Modal dikit kenapa sih. Coba kalau kamu punya tas dan kamu masukkan buku-buku lusuhmu itu ke dalam tas, nggak mungkin buku-buku itu akan berceceran. Udah tau ini sekolah elite, eh masih berani juga sekolah disini. Jangan-jangan orang tuamu sampai menyembah-nyembah segala, memohon supaya kamu bias diterima disini. Lagian kamu tu nggak usah sok berlagak punya jabatan kutu buku. Kalau memang levelnya cuma kutu busuk aja, ya udah diterima dong,” aku mengakhiri pembicaraanku dan berlalu begitu saja.

Masih kuingat aku sempat menginjak salah satu bukunya. Batu, entah untuk yang keberapa kali aku menyebutnya. Maafkan aku. Bukankah saat aku menyebutnya patung hidup dan kutu busuk itu adalah hal yang sangat menyakitkan? Suatu hal yang tidak pernah ada rencana dalam hidupku. Hal yang tidak pernah kuduga sama sekali akan menjadi kenangan tersendiri dalam hatiku. Yang selalu kubayangkan untuk kukenang adalah saat aku berpacaran, saat mama papa memberiku mobil sebagai hadiah ulang tahunku, dan bukan saat aku harus mengenang Batu. Seseorang yang sama sekali jauh dari kehidupanku. Namun, kenyataan yang ada malah memberiku suguhan tentang kehidupan Batu. Kehidupan Batu yang dulu kukira tidak berkepribadian sama sekali ternyata mampu menggores hatiku. Batu pernah menolongku.

“Saya bersekolah disini bayar Bu, dan saya berhak untuk berpendapat sejauh tidak mengganggu kegiatan sekolah,” aku mencoba membela diri waktu Bu Nanie memarahiku di depan kelas gara-gara aku menegurnya karena dia telah bersikap buruk terhadap siswa hanya karena siswa itu tidak bisa mengerjakan soal kimia yang diberikannya. Sambil mendengarkan pembelaanku, Bu Nanie sibuk menulis sesuatu di kertas. Setelah itu dia mengulurkan kertas itu untukku. Aku melongo. Mentang-mentang guru BP, dia seenaknya saja menskorsku.

“Tiga minggu mulai jam ini kamu boleh bersantai dirumah,” ucapnya ketus.

Dengan menahan amarah, aku segera mengemasi buku-bukuku. Baru saja aku mau melangkah, Batu berdiri dan dengan gerakan kepala menyuruhku duduk. Emosiku benar-benar memuncak sehingga aku pun membentaknya.

“Nggak usah ikut campur!”

Tatapan matanya yang dingin membuatku tak berkutik. Aku hanya mampu berdiri dan menunduk.

“Duduk!”

Entah apa yang terjadi tapi aku merasa takut mendengarnya berbicara sekeras itu. Tanpa pikir panjang aku menuruti kata-katanya. Tangisku tak tertahan lagi memecah keheningan suasana kelas.

“Berikan surat skorsing itu!” untuk kedua kalinya dia mengeluarkan suara.
Segera saja kuberikan kertas itu yang kemudian oleh Batu dirobeknya.
“Tidak ada skorsing untuk masalah seperti ini. Besok kamu masuk seperti biasa,” kali ini suaranya terdengar lebih lunak dan akupun jadi berani bertanya.
“Tapi?” belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, lagi-lagi dia membentakku.
“Masuk! Paham!” aku hanya mampu menganggukkan kepala.
“Batu dengar!” nada suara Bu Nanie yang marah menggema lagi.
“Kamu yang dengar!” balasnya sambil menghampiri Bu Nanie dan menggebrak mejanya. Baru kulihat sekali itu Batu marah. Lalu, dia mengambil bukunya dan pulang.

Saat ini aku hanya bisa menyesali semuanya. Kejadian-kejadian itu ternyata mampu meluluhkan keangkuhan tembok hatiku terhadapnya dan menghapuskan kebencianku, sekalipun dulu dia pernah menamparku dan mempermalukanku di depan umum.

Peristiwa itu pun masih melekat dalam ingatanku. Sore itu, aku dan Dina pulang dari took buku. Saat akan belok kiri, aku lupa menyalakan lampu sein sehingga bapak setengah baya yang sedang mengayuh sepeda di sebelah kiriku jalan terus. Terjadilah kecelakaan kecil, karena terkejut aku pun jatuh. Bapak itu segera turun dan berjalan ke arahku.
“Maaf , ya,” ucapnya lirih.
Kulihat tangannya gemetaran karena takut dan kepalanya menunduk saat aku memarahinya.
“Bapak ini bagaimana sih, hati-hati dong kalau jalan. Nanti dikira saya yang salah,” begitulah aku selalu menyalahkan orang lain untuk menutupi kesalahanku. Orang-orang yang berdatangan menolokngku pun ikut memarahinya.
“Udah Pak, sana. Malah merepotkan saja,”

Bapak itu segera buru-buru pergi. Tapi, karena ketakutan, dia jatuh. Pada waktu yang bersamaan, plak! Aku meringis. Sakit sekali. Aku mendongakkan kepala, Batu. Dia menamparku.

“Licik,” ucapnya singkat lalu membantu bapak itu bangun.

Orang-orang yang menolongku segera mendatangi Batu dan hampir saja memukulinya, tapi mereka terhenti saat Batu berkata,
“Kenapa? Jangan hanya karena wanita berwajah cantik saja kalian rela mengorbankan moral kalian. Tahukan siapa yang salah? Kenapa malah dibela. Lihat! Ayo lihat kebusukan wanita itu! Busuk! Otaknya penuh dengan kebusukan.”

Begitulah kejadian demi kejadian selalu berulang-ulang memenuhi benakku. Seakan ingin mengingatkanku. Kata-kata Batu yang menyakitkan itu pun masih aku ingat dengan jelas. Tidak, aku tidak lagi marah padanya. Benci? Itupun sudah tidak lagi. Aku malah berterima kasih. Semua itu telah menyadarkanku dari keburukanku. Dan, akupun sadar kalau akulah yang tidak punya kepribadian, bukan Batu. Malu rasanya kalau ingat bagaimana dulu aku bersikap buruk kepadanya. Menghinanya habis-habisan, menyakitinya, meremehkannya, memberi jarak padanya, kalau ternyata akulah yang bersikap sok, bukan dia. Seandainya sejak dulu aku dan teman-temanku mengetahui semua itu, Batu yang selalu merasa kesepian, Batu yang selalu menyendiri, Batu yang terluka.

Sepi dan sunyi, duniaku hanya sebesar kelereng. Menggelinding kesana, menggelinding kesini. Diatas tanah dan diinjak kaki-kaki makhluk Tuhan. Tolong! Aku berteriak. Hanya riak kecil air memecah keheningan. Aku tersenyum. Dia memperhatikan aku. Kudongakkan kepalaku. Ku tahu diatas sana ada matahari, ada bulan, ada bintang, dan ada awan. Saat aku melihat kebawah, aku tahu ada tanah, kerikil, pasir, kotoran hewan, dan ada makhluk-makhluk tak berdaya. Kupejamkan mata. Kurasakan hembusan angin menyejukkanku. Namun, aku tidak pernah tahu dimana keluargaku dan merasakan kasih sayang mereka. Keluarga yang sudah tidak lagi berwujud bentuk rupanya, yang menjadi tikus-tikus korban berpendidikan. Dan sampai hari berakhir, saat matahari kembali ke peraduannya, saat bintang dan bulan menunjukkan keindahannya, aku masih terus bertanya kapan kesepian dan luka menganga ini berakhir?

Air mataku menetes membacanya. Hatiku seakan ikut teriris. Aku menyesal pernah menghina orang tuanya. Kupandangi foto Batu. Tampak olehku wajah itu menanggung beban berat. Wajah yang selalu diabaikan orang, wajah yang jarang seorang pun meliriknya, apalagi melihat dan memandanginya. Tapi, semua itu tidak menghentikan niat Batu untuk selalu melihat dan memahami dunia sekitarnya. Salah satu tulisannya mengatakan,

Aku mampu mencerna kata-kata kalian. Untuk itu aku datang kepadamu. Memberikan tulangku untuk menggantikan tulang keroposmu agar kau tetap bisa tegak berdiri. Menghembuskan nafasku ke dalam ragamu agar kau kembali bisa bernafas lega tanpa kesesakan di dada. mengalirkan darahku ke tubuhmu agar kita menjadi satu, satu keluarga karena aku telah kehilangan keluargaku. Memperdengarkan alunan musik surgawi untukmu agar kau bisa melenggak-lenggokkan jiwa ragamu. Dan saat malam membuat segalanya gelap, tidurlah mengakhiri kepenatanmu. Jangan takut. Aku akan menjagamu dan menjadi terang bagimu karena aku mencintaimu, saudaraku.

Adakah orang yang mampu bersikap seperti itu? Berjiwa tulus dan berhati lembut. Yang rela mengorbankan diri demi orang lain. Semua karyanya sungguh hebat. Di rak bukuku semua buku karangan Batu tertata rapi. Aku tidak pernah bosan membacanya. Ceritanya, puisinya, amarahnya. Semua, semua yang ditulisnya.

Cepatlah berlari di depanku sebelum musuh menangkap dan membunuhmu. Cepatlah sembunyi di belakangku sebelum anjing-anjing liar itu mengoyak habis isi perutmu. Cepatlah duduk disampingku dan ikut gerakanku. Kita berdoa kepada Tuhan karena hanya Dia yang akan selalu mendengarkan. Cepatlah baca buku lusuhku agar kau segera menemukan dunia baru. Cepatlah lingkarkan tanganmu dibahuku agar kita bisa saling berbagi beban. Sebelum dunia ini penuh angkara murka, cepatlah berdiri diatas punggungku dan tengoklah seberang tembok itu. Ada apa disana agar kau bisa siap sedia menyelamatkan bangsamu. Dan untuk terakhir kalinya, berdirilah diatas kepalaku agar kau bisa mengetuk pintu rumah Tuhan, mencari perlindungan dan kedamaian. Ini semua kulakukan untukmu karena aku adalah Batu Pijakan, pijaklah aku selalu.

Bukankah dia seorang yang mulia? Tidak adil kalau diperlakukan seperti itu. Aku terdiam. Menghentikan ucapanku. Tidak seharusnya aku berkata seperti karena aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia tanpa keadilan dan untuk orang-orang seperti itulah Batu hadir menyingkirkan. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku ungkapkan mengenai Batu. Aku tidak tahu apalagi yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku. Tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk menghargainya. Menghargai Batu yang sekarang tinggal kenangan. Walaupun aku selalu pergi ke rumah peristirahatannya dan selalu membawakan bunga-bunga, itu semua belum cukup. Bagaimanapun juga aku telah melenyapkan dewa penolong bagi orang-orang yang ada dibawah sana. Lalu apalagi yang patut aku lakukan? Ada satu hal yang tidak bisa aku lakukan, yaitu mengaguminya. Tentu saja, aku benar-benar kagum terhadapnya, tapi Batu melarang setiap orang mengagumi dirinya.keinginannya itu tertuang dalam tulisannya,

Jangan kagumi aku jika kau tahu siapa aku! Jangan kagumi aku jika ternyata aku adalah pemain teater yang hebat, lebih hebat darimu. Jangan kagumi aku jika ternyata aku adalah penulis hebat., lebih hebat darimu. Jangan kagumi aku jika ternyata aku adalah seorang yang bermandikan uang. Aku lebih kaya darimu. Jangan kagumi aku jika ternyata aku mampu bergaul dengan makhluk-makhluk kesayangan Tuhan. Tidak sepertimu. Arogan! Jangan kagumi aku jika aku ternyata hidup secara nomaden karena rumahku banyak. Jangan kagumi aku jika kau tahu kuberikan uangku untuk orang lain. Jangan kagumi aku..

Dengan menyandang nama Batu Pijakan, dia berharap benar-benar bisa menjadi batu pijakan bagi orang-orang yang memang membutuhkan itu. Dalam kalimat terakhir tertulis,
Suatu hari aku pergi ke rumah orang bijak dan bertanya, ”Bagaimana caranya menciptakan suasana damai di muka bumi ini?” jawab orang bijak, “Jika di bumi ini masih ada sepuluh saja orang yang berakal sehat meski separuh dunia sudah hancur oleh peperangan, manusia yang tersisa masih pantas berharap suasana damai bisa tercipta.” Lalu aku pergi mencari orang yang berakal sehat itu.
 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo