Jari-jari lentikmu menggamit sebatang rokok lagi. Mungkin batang yang
ketujuh malam ini. Asap mengepul pekat, lekat dalam lamunanmu. Kau jeda
sejenak sebelum meneruskan cerita itu lagi. Aku mulai mual karena
asap-asap itu menerobos masuk ke paru-paru. Aku bukan perokok tapi aku
bertahan, demi kamu. Bahkan, saat derai gerimis mulai menghajar seru.
“Bagaimana itu berawal?” Tanyaku. “Ha.. ha..” kau mulai dengan tawamu
yang berderai seperti derai gerimis dan kita tak pernah peduli dengan
gerimis ini. Walau basah menjamah baju-baju ini tapi kita tetap nikmati
percakapan ini. Dingin seperti meghilang karena kehangatan yang hadir
berhasil mengusirnya. Pohon mangga yang melingkupi tempat duduk yang
basah ini, mengayunkan rantingnya yang penuh dedaunan untuk memercikan
air ke tubuh kita. Sedang kita tenggelam dalam ceritamu. Dengan duduk di
atas kursi kayu panjang tanpa meja, tak ada teman selain kita kecuali
dua cangkir sisa Capuccino yang tertutup, kau taruh sembarangan di bawah
kursi yang kita duduki. “Aku sudah merokok sejak SMP”, kau mulai
memungut kembali kepingan kaleidoskop hidupmu. “Sejak SMP kelas dua
tepatnya. Senior-seniorku di kampung yang mengajariku bagaimana
menikmati rokok. So, jangan selalu berfikir kampung itu alim,
pergaulannya tak seperti di kota. Aku bisa pastikan, tak jauh beda!” Kau
mendesah lalu menghisap, membiarkan asap rokokmu membentuk
lingkaran-lingkaran di tengah dingin dan derai gerimis. “Itu gunanya
teve!” Kau seperti menarik kesimpulan.
Lalu kau melanjutkan. “Aku tumbuh di lingkungan yang memungkinkanku
menjadi gadis yang periang, gampang percaya dan mudah bergaul. Itu
mungkin yang jadi masalah utama bagiku”, kau jentikkan jari telunjukmu
ke rokokmu, debu rokok berguguran di sampingmu. “Masih lekat dalam
ingatanku, tiap ada kumpulan muda-mudi di kampung, disitulah dimulainya
transfer pengalaman dari senior ke yunior. Biasanya, selalu ada
pertemuan rutin muda-mudi. Selepas arisan atau rapat, kami ngumpul.
Awalnya, yang perempuan dengan perempuan dan yang laki-laki dengan
laki-laki. Lalu kami bentuk semacam genk, hanya sedikit yang tidak ikut.
Kami selalu mengolok-olok yang tidak ikut sebagai orang kolot! Kuper!
Kampungan! Ha…ha.. Padahal kami semua orang kampung, ya?!” Tawamu
kembali berderai seperti menyambut derai gerimis yang memayungi wajahmu.
Bunting-bunting air meleleh pelan di pipimu menuju ke dagu. Sejuk.
Kupikir saat itu tak ada yang lebih menyejukkan daripada pipimu.
“Tiap malam minggu genk kami ngumpul. Awalnya, kami yang yunior, yang
masih SMP hanya coba-coba merokok. Sebatang-dua batang. Makin lama kami
nyoba ikut menegak minuman, satu-dua rolling. Tapi jangan salah, kami
tak pernah nyoba nge-drugs! Hanya rokok dan minum. Soal minuman, kami
lebih suka ciu atau topi miring. Pertama nyoba mau muntah. Baunya
menyengat, hidungku serasa ditusuk-tusuk jarum. Tapi keinginan untuk
jadi anggota genk, biar gak diolok-olok, membuatku bertahan. Saat
minuman mulai menerobos tenggorokan, tenggorokan ini serasa terbakar.
Rasanya pening, saat itu dunia seolah gelap dan berputar-putar seperti
komedi putar yang di tarik kencang”, kau berjeda sejenak seraya menata
rambutmu yang terkulai basah yang melekat pada jaket coklat matang-mu.
Kau terlihat alami dengan rambut yang basah. Ah.. mirip Dian Sastro?
Bukan! E.. Luna Maya? Tidak juga, karena matamu tak sebiru miliknya.
Nah.. seperti bidadari selepas mandi!
Lalu, kau menatap mataku dalam, seperti ingin mencari sesuatu. Dan
sepertinya kau tak menemukan apa-apa. Hanya biji matamu yang besar
sedikit mengerling. Entah apa maksudnya. Membaca matamu memang pekerjaan
paling susah. Seperti waktu aku sekolah dulu yang selalu ketakutan bila
bertemu soal matematika, begitu pula saat aku berusaha membaca matamu.
Takut. Entah karena apa. Ataukah takut jangan-jangan aku bisa mengetahui
yang sebenarnya di balik semua tatapanmu?
Kau lanjutkan lagi ceritamu sedang aku tetap diam. “Senior-senior itu
kupikir, memang kurang ajar! Selepas kami sering ikut, mereka mulai
minta uang pada kami. Kadang, mereka malah tak ikutan patungan sama
sekali untuk membeli minuman. Cuiihhh! Dasar perempuan-perempuan
murahan!” Kau lempar muka ke samping. “Mereka juga mengajari kami
bagaimana harus cari pacar yang bisa diporoti! Hi..hi..hi… Sekarang aku
sadar. Aku juga murahan!” Kau seperti mengutuk lalu menertawakan diri
sendiri.
Kamu tergelak, mengadah, mempertontonkan lehermu yang
berjenjang dan sesuatu mendorong-dorong dari dalam dadaku. Tapi aku
tetap diam.“Tak sampai setahun, kami para yunior, telah sama mahirnya dengan para
senior. Kami juga mulai sembarangan, kadang kami ngajak genk laki-laki
untuk bergabung bersama kami. Bayangkan apa yang terjadi. Kacau! Dan
kamu tahu? Orang tua kami seperti mendiamkan. Keterlaluan!” Kau
geleng-gelengkan kepalamu seraya tersenyum, seperti tak percaya. Lalu
kau buang putung rokok yang tersisa, menarik satu tanganku lalu
menggosok-gosoknya dengan kedua tanganmu. Aku biarkan saja.
“Aku mulai
merasa dingin. Biar gak dingin, ya?!” Katamu. Aku cuma mengangguk, buyar
senyum tak tertahan dari wajahku.Kau masih memainkan jari-jariku, kadang menempelkannya di pipimu, di
bibirmu dan aku masih pegang kendali alam bawah sadarku… “Dan, entah
kapan kejadiannya. Mungkin saat itu aku telah SMA. Aku kehilangan
keperawananku...”, suaramu kali ini terdengar letih, berat.
“Sesungguhnya, swear!” Kau acungkan dua telunjukmu untuk meyakinkanku.
“Aku termasuk orang yang conservative bila bicara soal seks.”
(Menurutku, pilihan katamu kurang tepat!) “Dan aku bangga mengakui hal
itu. Aku orang yang menjunjung tinggi keperawanan, tapi mungkin memang
nasib. Karena mabuk berat bersama teman, aku tak tahu kapan dan siapa
yang merenggut mahkotaku, bahkan di mana?!” Kau gelengkan kepalamu lagi
sambil tersenyum kecut. Gigi-gigi kokohmu menggigit bibirmu yang merah.
“Dan.. Aku memang menyesal. Menyesaaal sekali! Dunia serasa berakhir
saat itu juga”, katamu lirih. “Namun, berawal dari itu juga, aku mulai
gila!” Kali ini kau seperti berteriak. “Aku jadi lebih berani bergaul
dengan teman laki-laki. Terlanjur basah! Pikirku”, kau menoleh dan
menatap kosong ke samping, seperti menebar lamunan di hadapanku.
Menyesali perjalanan hidupmu yang melelahkan yang telah lalu.Kau lepaskan tanganku dari kedua tanganmu lalu menyalakan rokok kembali.
Karena basah, rokokmu jadi sering mati dan kau pun kesulitan
menyalakannya kembali. Aku mencoba membantu menyulutnya. “Terima kasih.
Mulai saat itu, aku pintar cari lelaki. Dengan modal tampang yang cantik
ini!” Kau terlihat begitu percaya diri saat berucap seperti itu. Memang
benar, kamu cantik. Amat cantik bahkan, batinku.
“Kadang, bahkan aku
bisa punya tiga pacar sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Dan, tak ada
satu pun dari mereka yang tak mau berkorban demi aku. Mereka semua
orang yang kaya atau paling tidak bisa mendapatkan uang yang aku
butuhkan. Maklum, biaya hidup makin mahal jadi aku tak bisa terus
gantungkan hidupku hanya dari orang tua. Apalagi aku anak kost karena
jarak rumah dan sekolahku cukup jauh”, kau berjeda sejenak seperti
berfikir. “Huh… Jauh dari orang tua membikin hobi keluar malamku makin
lama menjadi-jadi. Selalu ada saja alasan untuk itu. Dan aku jadi sering
bolos sekolah. Namun, dengan keadaan seperti itu, malah memudahkanku
untuk mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku bisa beli HP yang lagi
nge-trend, bisa ngisi pulsa tanpa keluar uang sepeser pun. Pakaian. Bisa
beli make-up untuk jaga penampilan. Semua dari pacar-pacarku. Tapi,
memang butuh keahlian tersendiri untuk bisa berbagi waktu untuk mereka.
Aku mencoba untuk tak pernah serius dengan mereka dan ketika salah satu
dari mereka mengetahui siapa aku, berapa pacarku, aku langsung putus
hubungan dengan mereka semua. Ganti nomor baru, cari korban baru. Dengan
potensiku dan kebodohan mereka, hal itu semudah membalikkan telapak
tanganku”, kau balikkan satu telapak tanganmu, seolah menunjukkan betapa
mudahnya kau melakukan itu.
“Ha..ha.. Kadang aku berfikir kalian itu mirip kerbau. Jinak! Kalian
terlalu lemah berhadapan dengan kecantikan. Kami hanya perlu bersikap
lemah lembut, sok alim dan kalian pasti langsung percaya pada kami”, kau
seperti sedang mengolok-olokku. “Ehm.. Tapi anehnya sejak pertama kita
ketemu, aku percaya kamu tidak seperti itu”, kau kembali menatapku lebih
dalam, mencoba mencari jawaban. Aku coba alihkan tatapanku.
Kau matikan
rokokmu seraya berkata, “Ini rokok terakhirku. Aku berhenti demi kamu.”
Lalu kau angkat kedua tanganmu dan menaruhnya di kedua pipiku. Hangat
serta-merta menjalari sebujur tubuhku, dada ini kembali bergelora tapi
aku tetap diam. Kami kembali bertatapan. Kali ini aku berjuang keras
mengatasi ketakutanku. Cukup lama. Aku jadi memahami kenapa para lelaki
itu begitu mudah kau jinakkan! Kamu benar-benar memahami keinginan
laki-laki, bahkan saat masih mereka simpan jauh dalam hati. Mungkin
beberapa menit telah lewat dan kita diam dengan posisi seperti itu, tapi
kau tak menatapku lagi melainkan tertekuk.
Bulir air gerimis meleleh
melalui hidungmu yang menunduk. Huiihhh...!!! Aku lagi-lagi jadi
memaklumi kenapa para lelaki jadi begitu lemah menghadapi kecantikan.
Dan menurutku, kau adalah kecantikan itu sendiri.Kau lepaskan kedua tanganmu dari wajahku selepas mengusap air yang masih
membasahi wajahku. “Sekarang sudah hangat kan?” Kau bertanya sembari
sunggingkan senyum di pojok bibirmu. Aku seolah ingin, saat itu juga,
waktu berhenti untuk memberiku momen lebih untuk menikmatinya. Dan, aku
hanya mampu mengangguk.
“Aku lanjutkan ceritaku lagi, ya?” Kau seperti
minta ijin padaku. “Namun dibalik petualanganku itu, satu kali, aku
pernah benar-benar jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta! Cinta yang
akhirnya membawaku sampai di sini. Dia adalah guru baru di sekolahku.
Tak ganteng amat tapi dia berbeda dengan laki-laki yang pernah aku
kenal. Mungkin karena dia terlihat lebih dewasa daripada para lelaki
bodoh itu. Tiap mengajar, dia seperti tengah menghipnotis kami. Cara
bicaranya, cara jalannya, caranya menatap. Semuanya. Seolah membuatku
merasa orang yang paling berdosa. Sepertinya dia lelaki alim. Seperti
kamu, ya.. hi..hi..”, tawamu berderai lagi.
“Dan ternyata, cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia mencintaiku
juga. Namun, tak lama selekasnya, dia pindah kerja ke kota ini.
Harapanku terhadapnya tetap menggunung karena dia berjanji menikahiku,
menerimaku apa adanya. Ha..ha.. Aku malu kalau mengingat-ingat peristiwa
itu. Seperti cerita-cerita cinta di teenlit ya?!” Kau berjeda sejenak,
menghela nafas. “Dia bahkan berjanji takkan menyentuhku, sebelum aku
menikah dengannya. Tak butuh waktu lama buatku untuk membuat keputusan
ikut dengannya ke kota ini. Bahkan tanpa ijin dari orang tuaku karena
cinta telah membutakanku. Akhirnya, sampailah aku ke kota ini. Kota yang
memenjarakanku dalam kegelapan, sebelum aku bertemu denganmu,
tentunya…”, kau menatapku lagi, tersenyum manja.
Lalu, kau lanjutkan
ceritamu. “Tak lama selepas aku ikut dengannya, kebusukan perlahan
kutemukan pada lelaki itu. Dia memang tak menyentuhku tapi dia sedikit
mulai kasar terhadapku. Lalu lama-kelamaan, dia bilang aku adalah beban
baginya. Dan, mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Dia rampas hartaku
yang tersisa lalu menjualku ke teman tidurnya, seorang mucikari.
Ha..ha.. Dia seorang gay ternyata! Cuihh… Disitulah hidupku yang gelap
dimulai. Aku bahkan tak tahu segelap apa hidupku itu. Masih adakah nyala
yang bisa menerangi jalanku?”
Kau nyaris menangis lalu terdiam,
menatapku dengan rasa sayang yang paling mungkin terlukiskan. “Dan.. Aku
harap nyala itu adalah kamu..”, kau hentikan ceritamu bersamaan dengan
berhentinya gerimis yang sejak tadi membasahi kami. Air bunting menetes
pelan dari kedua pipimu. Aku berusaha menenangkanmu. Kali ini aku
memelukmu, menyentuh lembut keningmu dengan bibirku. Erat dan hangat.
Kau mulai tenang dan senyum membuyar dari wajahmu.Lalu, kami berjalan bersama menuju rumah, menerobos gelap menuju terang
rumah. Mungkinkah kau adalah pilihan tepat buatku? Ataukah Tuhan
memilihku untuk menerangi jalan perempuan malang ini. Tapi … aku jadi
teringat pesan ibu dan prinsip-prinsip dalam hidupku. Ibu, satu-satunya
orang yang selalu kudengarkan tiap nasehatnya. “Hati-hati di kota. Kerja
yang baik! Kalau cari istri hati-hati! Jangan sekedar cari teman tidur
tapi carilah ibu bagi anak-anak kamu…”, kata ibu sebelum melepasku ke
kota ini.
Ya Tuhan! Maafkan aku. Bukankah Engkau Maha Pengampun dan aku
juga harus punya tempat untuk orang-orang yang telah menyesali
perilakunya dulu, seperti perempuan ini? Dan kupikir, tak ada salahnya
kalau aku berharap dia akan jadi bagian dari hidupku. Ibu atau siapa pun
tak perlu tahu rekam jejak hidupmu.Kau memang luar biasa. Kau seperti guru yang mengajari muridnya tentang
pelajaran pertama. Malam ini, aku benar-benar bisa menikmati tiap lekuk
keindahanmu. Pengalaman pertama dalam hidupku dan kulalui itu dengan
penuh gairah. Dan, kau akhirnya tertidur pulas tapi tidak dengan aku.
Gelap makin pekat selimuti malam ini. Bintang-bintang tetap enggan
mendandani langit walau derai gerimis menghilang dari langit hitam.
Bulan pun seperti malu, dia bersembunyi sejak sore tadi.
Kamar ini sepi,
hanya ada aku dan kamu. Tapi mataku tetap terjaga. Aku masih berfikir
keras tentang hidupku dan hidupmu. Haruskah aku melanjutkan kisah ini?
Menjadikan kau ibu dari anak-anakku? Aku memang terlanjur mengasihimu.
Tapi kata-kata ibu, prinsip-prinsip hidupku, terus berputar-putar
kembali di otakku. Cukup lama, akhirnya, aku putuskan untuk menulis
surat ini.
Dan, aku pun tak tahu apakah aku akan menyesali keputusanku
ini.Maaf, bukan berarti aku menghianatimu bukan pula berarti aku tak
mencintaimu. Tidak! Jangan salah! Aku sangat mencintaimu, dengan sepenuh
hatiku bahkan. Tapi hidup kita memang berbeda. Sama sekali berbeda. Kau
bukan seseorang yang kucari selama ini. Aku menyesal telah menikmati
malam ini bersamamu, aku berdosa!! Tapi itu akan jadi kenangan terindah
dalam hidupku. Sekali lagi maafkan aku. Aku tahu kau akan marah dan
mengutukku. Tapi tak ada pilihan yang lebih baik buatku. Dan, soal uang
yang tak banyak ini, bukan berarti aku tak menghargaimu. Aku ingin kau
gunakan uang ini untuk pulang kembali kepada orang tuamu. Mereka pasti
akan menerimamu dengan baik. Hiduplah tenang disana, suatu saat nanti,
pasti seseorang yang tepat akan membawa kebahagiaan ke dalam hidupmu.
Percayalah! Tuhan takkan pernah menyia-nyiakan penyesalanmu.
Sekian…
Cintamu, Rama