Jujur, aku gag ngerti apa yang ada dipikiran dua orang ini. Awalnya aku kagum banget pas mereka mutusin buat lamaran sementara waktu itu aku lagi depresi bin frustasi. Aku kagum banget ma cerita 'curhatan' yang dia tulis di blognya.
tentang suatu malam
aku ingat malam itu. di ruang tamu kosanku, dia berkata
“dek, mas pengen kamu jangan sampai melakukan, punya pikiran, bahkan
sekedar punya niatan untuk sayang sama mas cuma pas lagi ada uang.
jangan sampai ‘ada uang abang sayang, gak ada uang abang kutendang.’
tolong ya!”
aku menghela nafas sejenak. lalu kutanggapi perkataannya.
“gimana bisa kamu ngomong kayak gitu mas? kamu keliru punya pikiran
kayak gitu tentang aku. kalau cuma uang alasanku atas semua ini, aku gak
mungkin milih kamu. sejak pertama aku udah tau gimana kondisimu, dan
aku tetep memilihmu. itu artinya aku memilihmu bukan karena alasan itu.”
aku melanjutkan,
“emangnya dari awal sampai hari ini, kamu punya uang? enggak kan? buktinya aku mau dan masih bertahan sama kamu.”
dia diam, menyimak.
“emangnya pernah selama ini aku minta ke kamu buat beliin aku
sesuatu? pernah nggak sih aku minta kamu beliin aku boneka atau apa gitu
ke kamu? enggak juga kan?
aku juga gak pernah tuh minta kamu ajakin kemana-mana. di saat
temen2ku diajak pasangannya ke bromo, BNS, jatim park, atau kemana lah
jalan-jalan gitu, aku tetep cuek dan gak pernah menuntut kamu macem2
meski tiap keluar aku mesti kamu ajak ke rumahmu. bahkan ke mall pun
sekalipun kamu gak pernah ngajak aku kesana.”
dia tetap diam.
“kamu tau alasanku memilih kamu?”
“nggak. apa emang?”
“aku selalu membedakan mana yang kuinginkan dan mana yang kubutuhkan.
awalnya, aku sempet gak mau menerima lamaranmu karena bisikan dari
teman2ku.
aku menginginkan seseorang yang lebih tinggi dariku, lebih pinter,
lebih kaya, keren, ganteng, modis, gak malu2in pas dikenalin ke temen2,
motornya bagus, dan sebagainya.
dan kamu sama sekali gak memenuhi kriteria lelaki yang kuinginkan.”
aku menghela nafas. lalu kulanjutkan,
“sampai suatu hari, kamu ngajak aku sholat bareng. seumur-umur dalam
hidupku, aku gak pernah sholat diimami oleh orang lain selain abah,
masku, adekku, atau imam2 di masjid. dan hari itu, aku sholat berjamaah.
denganmu, berdua. kamu jadi imam dan aku makmum.
hari itu, hari dimana aku akan menolakmu, mendadak berubah saat aku
memandang punggungmu seusai sholat. aku seperti punya keyakinan bahwa
mau menerima lamaranmu adalah pilihan yang tepat, gak peduli gimanapun
kondisimu. kamu tau kenapa?”
“kenapa? emang di punggungku ada tulisan ‘MAU’ gitu?”
“ya nggak gitu kali. saat itu, saat memandang punggungmu, aku
menyadari banyak hal. gak peduli dengan kriteria2 lelaki yang
kuinginkan, justru lelaki seperti kamulah yang kubutuhkan.
dibandingkan dengan seseorang yang tinggi besar tampan dan modis, aku
lebih butuh orang seperti kamu yang meskipun sederhana, tapi mampu
menjadi imamku.
dibandingkan dengan seseorang yang pintar kaya dan berpenampilan
menarik, aku lebih butuh orang seperti kamu yang meskipun gak punya
harta melimpah tapi bisa menghormati wanita.
dibandingkan dengan seseorang yang kuinginkan tadi, aku lebih butuh
orang seperti kamu yang meskipun gak punya apa2 tapi rajin ibadah dan
taat agama.
itulah alasan kenapa aku memilihmu.
jadi kamu salah besar kalau menilai aku seperti itu.”
dia memandangku. terus memandangku.
sementara aku mulai menangis. sedih. terharu.
“jujur, banyak orang yang menghina kamu, meremehkanmu. tapi aku
bertahan denganmu. aku gak peduli dengan apa kata mereka karena aku
percaya padamu dan pada Allah.
aku sama sekali gak takut melarat karena memilih bersamamu karena aku
memiliki Allah yang Maha Kaya dan Maha Pemberi. aku percaya pada-Nya.
demikian pula aku percaya padamu. gak peduli mereka bilang apa, aku
tetep setia di sampingmu. mungkin hari ini kamu emang belum jadi siapa2.
tapi aku percaya bahwa selalu ada jalan untuk manusia2 yang mau
berusaha.
sekarang pertanyaannya, bisakah kamu jadi orang yang bisa kupercaya?”
“insya Allah, dek. sama kayak ayam. kalau mau mengais tanah, pasti
ada aja makanan untuknya. manusia juga gitu, kalau mau usaha, pasti ada
aja rezeki.”
“nah itu tau. gak usah dengerin apa kata orang. yang penting sekarang
adalah usaha yang keras, bekerja yang giat, dan jangan lupa berdoa.
selalulah percaya bahwa Allah itu Maha Segalanya. tetep semangat
pokoknya. bukankah Allah gak akan mengubah nasib hamba-Nya kalau orang
itu gak mengubahnya sendiri? iya kan?”
“aku udah berdoa dek. dan Allah udah ngabulin doaku.”
“emang kamu berdoa apa?”
“memiliki kamu di sisiku.”
“bohong ah. mesti ngerayu.”
“serius. selama ini, aku selalu dihina perempuan. mereka bilang aku
gak tau malu karena melarat, gak punya apa2, belum kerja, tapi
berani2nya naksir mereka. lalu aku berdoa kepada Allah agar aku gak
dipersatukan dengan wanita seperti mereka. aku berdoa semoga aku
dipertemukan dan dipersatukan dengan jodohku yang sesungguhnya. yang
sholihah dan bisa menerimaku apa adanya.
dulu, pertama ketemu kamu, aku langsung berdoa pada Allah.
‘subhanallah. sungguh indah makhluk-Mu ini ya Allah. jika dia adalah
jodohku, maka dekatkanlah. jika dia bukan jodohku, maka jodohkanlah kami
berdua.’ dan niat tulus itu didengar oleh Allah. sekarang, kamu
bersamaku.”
aku tersenyum padanya.
lalu dia berkata,
“tapi dek, aku baru belajar agama. malah mungkin pengetahuan agamaku
kurang dibanding kamu. aku masih baru belajar dan aku menyesal kenapa
gak dari dulu aja aku belajar agama.”
“mas, setiap orang itu punya masa lalu. aku gak mempermasalahkan
gimana kamu dulu. yang penting yaitu gimana kamu sekarang dan ke
depannya. yang kugarisbawahi bukan berapa banyak surat alquran yang kamu
hafal atau berapa banyak ilmu agama yang telah kamu pelajari, melainkan
kesungguhanmu untuk terus dan terus belajar agama.
bukankah lebih baik dulunya buruk tapi sekarang baik, daripada dulunya baik tapi sekarang buruk?
iya kan?”
dia mengangguk. kami saling tersenyum. saling memanjatkan syukur pada Allah karena telah mempertemukan kami.
dia sama sekali bukan orang yang sempurna, sama gak sempurnanya
denganku. dan aku sangat berterima kasih pada Allah untuk hal itu.
ya Allah, terima kasih karena telah menciptakan aku tidak sempurna.
terlebih terima kasih karena telah menciptakan seseorang yang
kehadirannya menyempurnakan diriku.
******
Oke, sekian buat cuplikan dia.. Belum lagi beberapa puisi yang dia tulis diblognya dan tentunya buat si D***, calon suaminya. Nah lha kok malah kemarin aku denger kabar dia putus.. Apa-apaan ini?? Maaf kalo ikut campur, tapi apa masalahnya? Dia cuma bilang gag cocok. Aku sempet berpikir, apa karena masalah kesenjangan sosial antara mereka berdua dan akhirnya membuat si D*** mundur?? But,, helloo kalian berdua ini udah lamaran rekk.. Keluarga besar udah pada kenal.. kok bisa seenaknya putus. yah, aku juga gag ngerti masalahnya tapi kenapa gag dipikirin dulu gituu..*terlepas dari masalah bukan jodohnya. Alhasil aku coba buka blognya lagi dan ternyataaa..
Setelah Kereta Berlalu
Suatu pagi ketika aku sedang kuliah, aku mendapatkan SMS dari
Wahyu. Dia adalah lelaki yang sedang kusuka. Tinggi, putih, sipit, dan
sedikit gendut.
Wahyu merupakan penyimpangan kriteriaku. Biasanya aku tidak tertarik
dengan lelaki yang berkulit putih, apalagi sipit. Aku cenderung menyukai
lelaki berwajah Indonesia asli dengan kulit sawo matang yang manis.
Terlepas dari tampilan luar Wahyu, aku merasa nyaman ketika
bersamanya. Aku merasa senang membaca dan membalas pesannya, mendengar
suaranya, mendengarkan dia bercerita, ataupun jalan-jalan dengannya.
Sesederhana itulah aku menyukainya.
Aku membuka SMS darinya. Dia bilang, dia sedang di perjalanan ke Malang naik kereta. Dia bersama 2 temannya sesama railfans. Mereka hendak ke stasiun Ngebruk (NB) untuk memotret kereta api yang sedang melintas disana. Katanya, view stasiun kecil itu bagus banget.
Dia mengajakku untuk ikut. Keretanya sampai di Malang kira-kira pukul
setengah dua. Kuliahku selesai sekitar jam dua belas. Setelah keras
berpikir, akhirnya aku memutuskan untuk ikut.
Seusai kuliah, aku langsung sholat dan makan. Lalu aku meminjam motor
salah satu teman kosku dan pergi ke stasiun. Aku membeli tiket, masuk
ke peron, lalu menunggu keretanya tiba.
Begitu kereta tiba, aku melihatnya berdiri dibordes bersama dua
temannya. Semuanya laki-laki. Jujur, saat itu aku agak takut karena aku
satu-satunya perempuan. Belum lagi melihat penampilan dua temannya yang
agak nyentrik. Tapi aku berusaha santai dan gak menilai seseorang dari
penampilannya aja.
Aku menghilangkan ketakutanku dengan berpikir positif tentang mereka.
Wahyu temanku, dia orang baik. Mereka teman Wahyu, pasti orang baik
juga. Masa iya Wahyu berteman dengan orang yang jahat? Oke, santai,
Zalfa. Nyentrik penampilannya belum tentu busuk hatinya.
Aku pun memutuskan untuk berdiri juga di bordes bersama mereka. Aku
berkenalan dengan teman-teman Wahyu, ternyata mereka lucu dan baik.
Sepanjang perjalanan, mereka melontarkan humor-humor yang membuatku
tertawa.
“Dia pacarmu? Ganteng gini. Pinter ya kamu kalau milih pacar.”
Tiba-tiba seorang petugas berkata demikian kepadaku. Aku buru-buru
mengelak karena Wahyu memang bukan pacarku, meskipun aku menyukainya.
Bordes jadi ramai gara-gara petugas aneh yang tiba-tiba bilang begitu
kepadaku tentang Wahyu.
Setelah melewati stasiun Malang Kota Lama (MLK), Pakisaji (PSI), dan
Kepanjen (KPN), akhirnya kami berempat sampai di stasiun Ngebruk. Benar
kata Wahyu, stasiunnya emang bagus. Di depan stasiun, ada sawah
terhampar luas. Di balik mendung, gunung terlihat sedikit malu-malu
menampakkan dirinya.
Sementara aku dan temannya berbekal kamera pocket untuk
memotret, Wahyu mengeluarkan DSLR Nikon miliknya. Dilihat dari
penampilannya, kamera yang dipegangnya, perumahan tempatnya tinggal,
serta seringnya dia ke luar negeri untuk liburan, aku berasumsi bahwa
dia berasal dari keluarga yang cukup berada. Jujur, meski dia kaya,
bukan itu alasanku menyukainya. Sama sekali bukan.
Wahyu pernah bilang kalau dia udah beberapa kali pergi umroh bersama
keluarganya. Sebagai seorang muslim, aku sangat ingin pergi umroh juga,
bahkan pergi haji. Oleh karena itu, aku gak pernah berhenti berdoa agar
suatu hari aku dimampukan oleh Allah untuk melaksanakannya.
Aku gak banyak bicara dan lebih banyak diam. Masalahnya, mereka semua
lelaki dan aku baru kenal. Aku merasa sangsi untuk ikut berbicara dan
sedikit malu. Jadi, aku hanya diam dan memperhatikan mereka
bercengkerama. Sesekali aku ikut tertawa apabila mereka saling
melontarkan ejekan satu sama lain.
Karena gak terbiasa memakai jam, aku melihat jam di hapeku. Sudah waktunya sholat ashar.
“Ndel, udah masuk waktu ashar nih. Sholat dulu, yuk!”
Wahyu menjawab, “Bentar, Fa. Matarmaja paling bentar lagi juga
dateng. Ntar kalau kelewatan Matarmaja gimana? Sholatnya ntar aja,
nunggu Matarmaja lewat dulu. Udah nyampe sini rugi kalau sampai gak
motret kereta.”
“Emang gak keburu ya kalau ditinggal sholat bentar aja?”
“Takutnya sih gitu.”
Aku menghela nafas, “Ya udah deh. Biar aku sholat duluan aja. Mas Aryo, mas Edo, kalian gimana? Mau ikut sholat?”
“Gak deh, Fa. Duluan aja.” kata mas Aryo.
“Iya, duluan aja, Fa. Kita ntar aja.” mas Edo menimpali.
Dari tempat kami duduk, aku berjalan sendiri ke stasiun. Kucari
dimana letak mushollanya karena ini pertama kalinya aku ke stasiun ini.
Biasanya aku cuma lewat aja.
Aku menemukan mushollanya. Ternyata, bangunan kecil di sebelah utara
stasiun tersebut dikunci. Mungkin karena jam segini gak ada kereta yang
berhenti di stasiun ini, gak ada calon penumpang yang menunggu keretanya
disini. Akibatnya, gak ada juga yang akan sholat ashar disini, makanya
mushollanya dikunci.
Stasiun ini sepi. Aku gak menemukan orang di sekitar musholla yang
bisa kutanya dimana kuncinya. Aku lalu berjalan ke selatan. Ruang tunggu
dan loket juga sepi. Jika semua sudut stasiun sepi, hanya ada satu
tempat untuk menemukan orang yang bisa ditanya dimana kunci mushollanya.
Yup, ruang PPKA.
Aku berjalan menuju ruang PPKA dengan segenap keberanian yang
kumiliki. Ini daerah yang asing bagiku. Dan bagi PPKA, asing juga
baginya melihatku. Sore-sore, ada gadis sendirian di stasiun kecil yang
sepi.
“Assalamualaikum.” ujarku di depan pintu ruang PPKA.
“Waalaikumsalam.” seorang petugas menjawab salamku. Ada dua petugas di dalam ruang dengan banyak tuas kendali itu.
“Permisi, pak. Saya mau sholat ashar, tapi mushollanya dikunci. Boleh pinjam kuncinya?”
“Oh, boleh. Silahkan. Ini kunci untuk musholla, dan ini kunci untuk
kamar mandi. Wudhunya di kamar mandi ya, di belakangnya musholla. Nanti
kalau selesai, kembalikan lagi ya!” kata PPKA sambil meminjamkan
kuncinya padaku.
“Iya, Pak. Terima kasih. Saya pinjam dulu kuncinya. Mari.”
Aku melangkah pergi meninggalkan ruang PPKA dan menuju kamar mandi
terlebih dahulu untuk berwudhu. Setelah itu, aku membuka pintu musholla
dengan kunci yang kupinjam tadi. Untungnya aku membawa mukena karena aku
gak menemukan mukena disini.
Setelah sholat dan berdoa, aku melipat mukenaku dan kumasukkan
kembali ke dalam tas. Lalu aku mengambil hapeku dan mengirim SMS untuk
Wahyu.
Di SMS, aku berkata, “Kamu gak sholat dulu? Mumpung kuncinya belum aku balikin. Sekalian ajak temenmu juga.”
Lama aku menunggu, gak juga ada balasan dari Wahyu. Akhirnya
kuputuskan untuk mengembalikan kuncinya ke PPKA. Setelah mengucapkan
terima kasih dan berpamitan, aku kembali ke tempat Wahyu dan yang lain
duduk, yaitu di pinggiran rel dekat sawah.
“Matarmaja udah lewat, Ndel?” tanyaku ke Wahyu yang biasa kupanggil ‘Endel.”
“Belum.”
“Nah, tau gitu kan tadi kamu sholat dulu. Sekarang sholat gih!”
“Ya elah, sekarang malah Matar mau nyampe kali, Fa. Ntar deh nunggu
Matar dulu. Udah jam segini biasanya banyak kereta lewat. Matar,
Malabar, Gajayana.”
Aku kecewa mendengar jawaban Wahyu. Sangat kecewa. Kekecewaanku
semakin bertambah saat dia lebih mementingkan memotret kereta api sampai
waktu ashar habis dan dia belum sholat.
Seketika rasa sukaku luntur. Menghilang, musnah.
Apa artinya dia sering pergi umroh jika dia menunda-nunda sholatnya
dan akhirnya belum sholat sampai habis waktunya? Apa artinya jauh-jauh
pergi ke tanah suci jika diingatkan dan diajak untuk sholat, dia malah
enggan? Apa artinya menyembah Allah sampai ke Baitullah jika disini dia
lebih mementingkan kereta daripada Allah?
Semua rasa kagumku, rasa sukaku, semuanya lenyap.
Dia yang tadinya menjadi kandidat calon imamku, kini tereliminasi sudah. Bagaimana
mungkin calon imamku gak bisa memimpin dirinya sendiri untuk selalu
menomorsatukan Allah melebihi apapun? Bagaimana bisa dia menjadi
pemimpinku jika memimpin dirinya sendiri aja dia gak bisa?
Aku teringat kata petugas di kereta tadi jika aku pintar memilih
Wahyu menjadi pacarku. Setelah kejadian ini, aku justru merasa sangat
pintar karena gak memilih Wahyu menjadi pacarku.
Wahyu memang sosok pacar yang kuinginkan. Tapi ternyata, dia bukanlah sosok imam yang kubutuhkan.
Aku ingin punya pasangan yang tinggi, tapi aku butuh orang yang
selalu merasa dirinya rendah di hadapan Allah sehingga selalu
menyembah-Nya, menomorsatukan-Nya.
Aku ingin punya pasangan yang cerdas, tapi aku butuh orang yang
dengan segenap kemampuan berpikirnya mengimani keesaan dan kekuasaan
Allah.
Aku ingin punya pasangan yang kaya, tapi aku butuh orang yang dengan
seluruh tenaganya dan setiap tetes keringatnya dipergunakan untuk
berusaha mencari rezeki yang halal di jalan Allah.
Lebih dari apa yang kuinginkan adalah apa yang aku butuhkan.
Aku ingin pacar. Tapi aku butuh imam.
Dan orang itu bukan Wahyu.
*****
Taraaa.. hmm.. silahkan disimpulkan sendiri dehh .. Jujur, rada kecewa.. Aku masih inget pas aku nulis status pake foto mereka berdua dan 2 anak kecil.. Sumpah serasi banget kayak keluarga bahagia,, sakinah mawadah wa rahmah.. si D*** pake sarung dan peci dan F**** pake jilbab seperti biasanya.. Tuhan.. Jujur ya, aku iri ngelihat mereka berdua *kalo aku mana mungkin Satria mau diajakin foto gitu T^T, gag tau ya klo udah nikah nanti mau gag ya.. hahahahha XD. Ehh,, kembali ke cerita. Tapi sayangnya sekarang semuanya tinggal kenangan aja. Buat F****, ingat gag, waktu kamu nulis cerita tentang kamu dan D,, ingat dengan semua puisi yang kamu tulis ?? Inget tentang nasehatmu ke aku dulu?? Kenapa kamu langgar sendiri?? Kenapa harus diakhiri seperti ini?? Sedihh :(