Kamis, 18 April 2013

Dering

 

Tidur siangku terganggu oleh suara david cook - always be my baby, nada dering HP-ku untuk panggilan masuk. Dengan malas-malasan dan setengah mata terbuka, aku meraba-raba tempat tidurku. Seingatku HP-ku kuletakkan disebelah bantalku. Yes, akhirnya ketemu juga.

Aku bangun dan mengucek-ucek mataku agar melek. Begitu mataku terbuka, aku mendapati nama itu di layar HP-ku. Sesaat keheningan terjadi. Bagaimana mungkin dia menelponku? Aku yang salah membaca nama penelpon atau dia yang salah menelpon sih? Sebuah kebingungan bersatu dalam hening.

“Assalamu’alaikum,” kuputuskan untuk mengangkat telponnya.

“Wa’alaikumsalam. Gimana kabarmu, Pang? Sehat?” jawabnya di seberang telpon.

Pang, berasal dari kata kupang. Makanan khas kotaku, Sidoarjo. Kupang adalah makanan kesukaanku yang akhirnya dia jadikan sebagai salah satu nama panggilan untukku. Ternyata dia masih ingat dengan nama itu. Mendengarnya memanggilku dengan nama keakraban kita, spontan aku membalasnya dengan Endel, nama panggilanku untuknya.

“Alhamdulillah sehat, Ndel. Ada apa ya?”

“Mmm…. Aku….”

“Aku apa?”

“Aku kangen.”

“Sama?”

“Ya sama kamu, Reng. Heran deh nih anak.” katanya dengan mantap.

Glek. Aku menelan ludah. Mendadak aku diam di tengah ketidakpercayaan. Pertama, dia mengejutkanku dengan menyebutkan nama panggilannya untukku yang lain selain Kupang, yaitu Ireng (hitam). Gak kusangka dia menggunakan nama itu untuk membangun suasana akrab kita kembali, yang sekaligus mengingatkanku akan selaksa hari kemarin. Dan yang kedua, apa-apaan itu tadi? Sebuah pengakuan akan kerinduan. Sadarkah ia ketika mengucapkannya?

“Fa, kok diem?” kali ini dia memanggil namaku yang sebenarnya.

“Kamu gak usah bercanda deh, Ndel. Mana mungkin kamu kangen aku. Kok bisa gitu loh. Gak usah ngaco deh.”

“Nih anak selalu aja kalau dikasih tau mesti ngeyel. Aku gak bercanda, Lek. Aku serius kangen sama kamu,” lagi-lagi ia memanggil nama panggilanku yang lain, Elek (jelek).

“Ya tapi kok bisa gitu loh kamu kangen aku. Aneh banget.”

“Ya mana aku tau. Namanya juga perasaan, muncul begitu aja. Aku gak bisa ngatur perasaanku. Dan sekarang, aku beneran kanget banget sama kamu. Kamu kangen juga kan sama aku, Fa?”

Aku kembali terdiam. Kali ini yang kurasakan bukan lagi bingung, melainkan emosi yang membuat dadaku bergejolak. Dalam keheningan sesaat, aku mencoba menahan perasaanku agar air bening yang menumpuk di kelopak mataku tidak jatuh dan membasahi pipiku. Aku menahan diri agar gak ada isak tangis yang ia dengar.

Dia pikir siapa dirinya? Okelah, aku bisa terima dia memanggilku apa saja. Kupang, Ireng, Elek, Zalfa, atau apapun lah terserah. Nama-nama itu yang emang mengakrabkan kita berdua selama ini. Tapi pengakuannya akan rindunya untukku, itu yang gak bisa kuterima.

Bagaimana bisa dia berucap dia merindukanku sementara ia tahu bahwa aku udah bersama seseorang yang lain? Aku bahkan udah bertunangan. Kemana dia ketika dulu aku teramat merindukannya? Jangankan hadirnya, sebuah pesan singkatnya pun aku rindu berat.

Tapi ia gak muncul. Ia menghilang entah kemana. Setelah semua hal kita lalui bersama, ia seolah tersapu hembusan angin. Lenyap bersama debu. Merindukan seseorang, mengharapkan kedatangannya, dan menerima kenyataan bahwa ia gak pernah hadir untukku bukanlah hal yang mudah. Namun aku terus mencoba. Hingga akhirnya aku bisa mengubur harapanku dengannya, meski perlahan dan menyakitkan.

Aku teringat akan kenangan hampir setahun yang lalu. Saat itu, sepulang melayat ke rumah salah seorang teman railfans, kita berboncengan. Sambil menyetir motor teman kos yang kupinjam, dia berkata, “Aku semakin gak nyaman sama pacarku, Lek. Saat ini aku malah merasa nyaman banget kalau pas sama kamu. Gimana kalau kita jadian aja? Hahaha…”

Detak jantungku seolah terhenti mendengar ia berkata begitu. Entah kalimatnya tadi serius atau hanya guyonan, yang jelas aku dibuat linglung mendengarnya. Namun setelah tersadar, aku berkata, “Males ah. Mana mungkin coba pacar pertamaku itu pacarnya orang lain. Kayak gak ada yang lain aja.”

Saat itu, jujur ada sebagian hati kecilku yang berteriak, “Mauuu… aku mau banget jadi kekasihmu, Ndel.” Sebenarnya aku juga merasa nyaman dengannya. Tapi mengingat keadaannya yang sudah memiliki tambatan jiwa, aku memilih untuk mundur. Aku gak mau dibilang perebut kekasih orang. Kalau memang dia jodohku, suatu saat dia akan kembali padaku. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu.

“Aku dosa kalau kangen sama kamu, Ndel.” ujarku seraya menguatkan hatiku.

“Kok bisa gitu? Kenapa?”

“Kamu udah tau alasannya. Lagian selama ini kamu kemana? Kenapa baru sekarang kamu kangennya? Hah?”

“Aku kangen kamu udah dari dulu, Reng. Tapi tiap aku telpon kamu, gak pernah kamu angkat. Aku SMS juga gak pernah kamu bales. Sekalinya kamu bales, itu juga singkat banget. Aku beneran kangen sama kamu, Reng. Kangen banget.”

“……..” aku terdiam.

“Zalfa, sekarang kamu jujur sama aku. Kamu kangen juga kan sama aku?”

“Ndel, semuanya udah berubah. Bahkan seandainya aku juga kangen sama kamu, aku gak bisa dan gak boleh ngomong ke kamu. Seandainya aja kamu kayak gini ke aku dari dulu, sebelum aku ketemu sama orang lain.”

“Tapi bukannya kamu bilang kamu pernah suka sama aku?”

“Emang. Tapi itu dulu, sebelum kamu ngelakuin satu kesalahan yang akhirnya ngerubah hidupku. Seandainya aja kesalahan itu gak pernah ada, mungkin cerita kita bakal beda.” tuturku. Air mata yang sedari tadi kubendung kini mulai mengalir pelan tanpa isak.

“Kesalahan apa, Fa? Yang mana? Apa aku udah ngelakuin hal yang nyakitin kamu? Ngelukain hatimu? Kasih tau aku, Fa!”

“Kamu inget gak, dulu waktu kamu masih sama Rosi, kamu bilang kalau gak nyaman sama dia dan lebih nyaman sama aku? Inget, kan? Tapi setelah putus, kamu kemana? Tiba-tiba aja kamu menghilang gak tau kemana. Kamu gak ngabarin aku, gak nelpon, SMS, atau apalah. Kamu juga gak pernah muncul di fesbuk, twitter, atau dimana lah yang bisa aku cek buat sekedar tau keadaanmu. Lalu tiba-tiba aja kamu muncul lagi dan mengagetkanku. Kamu jadian sama Linda, anak komunitas pecinta kereta api asal Jogja itu.”

“………….” kali ini dia yang diam.

“Aku kecewa sama sikapmu, Ndel. Bener-bener kecewa. Apa artinya kata-katamu ke aku waktu itu? Yang kamu bilang lebih nyaman sama aku lah, apalah… Mestinya kalau kamu beneran nyaman sama aku, pas kamu putus dari Rosi harusnya kamu nyari aku, dong? Bukannya malah ngilang gak ada kabar, eh tau-tau muncul lagi dan jadian sama orang lain. Kamu bahkan gak pernah ngasih tau aku kalau kamu deket dan akhirnya jadian sama Linda.”

“Maaf, Fa. Tapi saat itu aku gak tau kalau kamu suka sama aku. Mestinya kamu ngasih sinyal-sinyal ke aku biar aku bisa tau perasaan kamu gimana.”

“Udah, aku udah ngasih. Kamu aja yang gak peka, gak bisa nangkep sinyal yang kukasih. Kamu pikir kenapa aku selalu nyempetin waktu nemenin kamu jalan tiap kamu ke Malang? Aku bela-belain minjem motor ke temen, bela-belain cepet-cepet ngerjain tugas, bela-belain keluar sama kamu padahal aku capek banget sepulang kuliah. Kamu pikir kenapa aku ngelakuin semua itu kalau bukan karena kamu? Masih kurang jelaskah sinyalku?”

“Sekali lagi maaf, Fa. Kupikir kamu emang selalu care sama siapa aja. Jadi semua tindakanmu itu kupikir cuma hal biasa, bukan sinyal-sinyal kalau kamu suka sama aku. Kamu mestinya ngasih sinyal yang lebih kuat biar aku bisa lebih ngeh sama perasaanmu.”

“Trus kamu mau yang kayak gimana? Apa menurutmu aku harus datang ke hadapanmu dan bilang, ‘Hai Wahyu Putra, aku suka lho sama kamu.’ gitu?”

Kami berdua sama-sama diam. Lalu aku memecah keheningan. Aku berkata, “Aku emang care sama siapa aja. Aku gak pernah ngebeda-bedain temen. Tapi… ah kamu gak bakal ngerti. Intinya, aku gak pernah se-care itu sama cowok sebelumnya, kecuali kamu.”

“Aku gak ngerti ini permintaan maafku yang ke berapa. Yang jelas aku minta maaf banget karena gak peka sama perasaanmu. Aku gak nyangka aja kamu pernah suka sama aku. Aku tuh nakal, urakan, mbeling, gitu lah pokoknya. Sedangkan kamu? Kamu baik, alim, sederhana, gak aneh-aneh, pokoknya beda banget lah sama aku. Jadi aku sama sekali gak terpikir kalau kamu bisa suka sama cowok macam aku. Boleh aku tau alasannya?”

“Aku nyaman sama kamu, Ndel. Saat itu cuma itu alasanku suka sama kamu. Tapi karena sikapmu itu, aku mutusin buat berhenti suka sama kamu.”

“Fa, aku emang nyaman sama kamu. Tapi ya sebatas nyaman aja. Saat itu aku gak kepikiran buat jadian sama kamu karena… ah udahlah. Lagian bukannya kamu bilang gak mau punya pacar bekas orang? Apalagi kamu belum pernah pacaran.”

“Kapan aku pernah bilang gitu? Aku bilangnya ‘aku gak mau pacar pertamaku tuh pacarnya orang.’ Jelas aja, saat itu kamu masih sama Rosi. Aku paling gak suka dibilang perebut pacar orang atau perusak hubungan orang.”

“Oke, Fa, oke. Kuakui semua ini salahku. Aku minta maaf, sayang. Tapi aku boleh kan tetep kangen sama kamu?”

“Ndel, maksud semua ini tuh apa? Katamu kamu gak suka sama aku, gak sayang sama aku. Kamu juga tau aku udah punya seseorang yang baru saat ini. Tapi kenapa kamu malah manggil aku ‘sayang’ dan bilang kalau kamu kangen banget sama aku?”

Air mata yang mengalir tanpa isak di pipiku kini bercampur emosi yang semakin menjadi-jadi. Kenapa dia begitu mempermainkanku? Apa sebegitu remehnya dia memandang perasaanku? Apa dia sama sekali gak pernah memikirkan apa yang kurasakan?

Aku benci berpikir bahwa posisiku di matanya hanyalah sebagai game bekas yang hanya dia mainkan ketika dia bosan dengan game barunya, atau bahkan ketika dia sedang menunggu game terbarunya datang. Sama seperti dulu, dia mencariku hanya ketika dia membutuhkan seseorang untuk menemani kesepiannya, menemaninya berbincang sebentar, lalu ditinggal begitu saja ketika tamu kehormatannya datang. Aku benci mengetahui sebegitu kecilnya arti kehadiranku di hidupnya.

Seandainya semua ini kisah sinetron, aku dan dia ibarat figuran dan tokoh utama pria. Sampai tamat pun, figuran hanya muncul sesekali di kehidupan sang tokoh utama. Sangat gak tau malu jika seorang figuran berharap mampu menggeser peran tokoh utama wanita agar mampu bersanding dengan tokoh utama pria. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berhenti. Berhenti menjadi game kadaluarsa dan berhenti menjadi figuran di hidupnya.

Aku ingin menjadi tokoh utama wanita di kisah dramaku sendiri. Aku ingin bersanding dengan tokoh utama pria yang telah tertulis dalam skenario Allah. Bukan seorang pangeran tampan berkuda putih yang kuharapkan, melainkan seorang pria yang kuat imannya, pengertian, setia, bertanggung jawab, jujur, dapat dipercaya, mengayomi, dan sangat menghargai perempuan meskipun tampilannya dibalut oleh kesederhanaan.

“Kalau suatu saat nanti aku bener-bener sayang sama kamu, gimana? Bukannya kita gak pernah tau apa yang akan terjadi ke depannya?”

“Kita emang gak pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan. Aku juga gak bisa ngelarang kamu buat sayang atau kangen sama aku. Tapi aku gak bisa melakukan hal yang sama ke kamu. Kamu tau gimana aku, Ndel. Ketika aku memilih seseorang, akan senantiasa kujaga hatiku untuknya. Aku memilih satu, dan akan terus kujaga agar tetap satu, gak ada yang lain. Aku gak mau hatiku disakiti olehnya, sehingga aku berusaha untuk gak menyakiti hatinya. Maaf, Ndel.” aku memberi penjelasan.

“Iya. Pada akhirnya aku cuma bisa mengucapkan selamat buat kamu. Semoga kamu langgeng ya sama kekasihmu. Semoga dia bisa menjadi suami dan imam yang baik bagimu.”

“Amin. Makasih ya, Ndel. Aku juga berdoa semoga kamu segera dipertemukan dengan jodohmu. Seseorang yang sholehah dan bisa menjadi istri sekaligus makmum yang baik buatmu. Amin. Assalamu’alaikum.”

Aku menutup telpon. Kulihat bayangan diriku di cermin yang berada persis di depan tempat tidurku. Pipiku basah, bagian sekitar kerah kaosku juga basah oleh air mataku. Sedari tadi aku memang sama sekali gak mengusap air mataku, meski di dekat tempat tidurku selalu tersedia tisu. Kubiarkan air bening itu jatuh sebagai bukti bahwa aku mampu bertahan dengan pilihanku, meski seseorang di masa lalu mengucapkan kata rindu.

Ketika kita udah menemukan seseorang yang baru dalam hidup kita, maka bisa jadi Allah mengirimkan seseorang di masa lalu kita kembali, untuk menguji kesetiaan kita terhadap pasangan kita. Berkali-kali aku mengucapkan istighfar, memohon ampun pada Allah. Masih dengan memandang bayanganku yang gak karuan di cermin, segenggam doa terselip dalam hati kecilku.

“Ya Allah, selalu ada orang-orang yang lebih segalanya daripada pasanganku. Maka kuatkan imanku agar tak tergoda, bahkan oleh orang yang pernah kusuka. Ketika aku mulai meragu pada pasanganku, maka ingatkan aku alasan mengapa dulu aku memilihnya. Jika memang aku dan pasanganku adalah jodoh yang terpisah dan kembali Engkau persatukan dalam cinta, maka jagalah hati dan perasaan kami agar senantiasa seiring dan sejalan dalam menjalani ikatan suci yang Engkau ridhoi. Kupercayakan hidup dan matiku pada-Mu, ya Allah, sebagaimana aku percaya bahwa sebaik-baik rencana ialah rencana-Mu. Amin”

*******************

0 komentar:

Posting Komentar

 
©Suzanne Woolcott sw3740 Tema diseñado por: compartidisimo